Apa jadinya kalau tidak punya tujuan terukur. Jawaban yang muncul beragam. Resah, gelisah, marah, bodoh, stres adalah jawaban bagi orang yang tidak punya tujuan.
Lalu bagaimana dengan mereka yang sudah membuat tujuan namun tidak terlaksana. Sama saja. Karena tujuan tersebut tidak diberi batasan waktu sehingga pikiran bawah sadar sulit menerjemahkan bahkan mengartikan tujuan tersebut tidak penting.
Diskusi di atas muncul dalam acara diskusi forum yang digelar di lingkungan RW 09 kelurahan Muka Kuning. Diskusi forum adalah program yang rutin dilakukan di lingkungan RW yang ada di lingkungan dormitory Kawasan Industri Batamindo.
Kenapa pembahasan tujuan menjadi menarik? Hal itu bermula dari keresahan pembina atau pengurus RW yang mengamati trend generasi muda saat ini yang cenderung konsumtif dan mengutamakan kepemilikan barang serta gengsi.
Setelah pencari kerja diterima bekerja di sebuah perusahaan. Umumnya menjadi pekerja yang hanya puas sebagai pekerja (operator produksi). Target hanya terbatas pada menjadi pegawai. Setelah menjadi pegawai atau pekerja lalu puas. Kegiatan di luar jam kerja tidak diisi dengan target-target lain yang mengarah pada pengembangan diri.
Puas ditandai dengan kegiatan mengurung diri (berpuas diri) dalam quadran waktu IV (menurut Steven Covey) yakni melakukan kegiatan yang tidak penting dan tidak mendesak seperti nenontn, ngobrol, jalan-jalan.
Kalau ditanya kenapa tidak mengikuti kegiatan positif, jawabnya masih ada hari esok. Lagi-lagi jawaban ini adalah jawaban orang-orang yang tidak punya tujuan jelas dan terukur.
Tujuan yang baik adalah tujuan yang terukur, spesifik, punya alasan, dapat diajnagku dan dilaksanakan.
Ketika kontrak kerja berakhir dan usia sudah mulai tambah tua, mereka berkata mau kuliah atau sekolah lagi sudah telat. Usia sudah tidak muda lagi. Yang dikambing hitamkan adalah usia. Padahal usia itu sendiri netral.
Oke pembaca. Mari kita bangkit dari dehumanisasi kerja serta dehumanisasi manusia.
Dalam kondisi dehumanisasi manusia, orang mengutamakan dihormati dari pada menghormati. Mengutamakan mengkritik daripada dikritik. Mengutamakan dilayani daripada melayani.
Dalam kondisi dehumanisasi kerja, orang ingin enak tanpa kerja keras. Begitu dapat uang dari hasil keringat banyak dihabiskan untuk kepentingan konsumtif, kepemilikan barang-barang demi gengsi.
Dehumanisasi kerja dan dehumanisasi manusia adalah peninggalan kolonialisme. Pada saat jaman kerajaan dan penjajahan para bangsawan dan penguasa hidup enak, banyak uang dan terpandang tapi para bangsawan dan penguasa tidak melakukan kerja keras dan memeras keringat. Kerjaan kaum bangsawan dan penguasa adalah menguasai tanah, menumpuk kekayaan, menguasai rakyat, membuat undang-undang lalu rakyat disuruh bayar pajak.
Para bangsawan adalah trend setter. Kelakuan mereka dianggap terbaik dan ditiru oleh rahyat. Kelakuan mereka ditiru oleh rakyat karena rakyat ingin kelihatan wah dengan pakaian bagus, makanan enak, dihormati. Karena itu ketika rakyat biasa memiliki sedikit uang. Mereka pun menghabiskan uangnya untuk kesenangan (pesta) seperti bersabung ayam, main judi.
Persamaannya dengan generasi muda sekarang adalah, ketika sudah gajian mereka langsung mengunjungi mall untuk belanja, beli pakaian bagus, beli HP bermerek, makan di restoran enak. Bangku kuliah tidak dilirik, kursus tidak ambil, pelatihan malas diikuti, training dihindari.
Namun anehnya ketika usia beranjak tua. Ketika tidak terseleksi dalam penerimaan pegawai mereka baru menyesal kenapa saya tidak kuliah. Nah lho.