Pancuran. Kata ini singkat. Melekat di memori banyak orang. Pancuran adalah bagian tak terpisahkan bagi sebagain warga Indonesia yang tinggal di daerah pegunungan. Bagaimana dengan Batam. Apakah juga memiliki pancuran?
Batam, meski tidak ada gunung, pun memiliki objek wisata pancuran tersebut. Orang menyebutnya pancuran Blok R. Barangkali nama tersebut diambil dari Dormitory Blok R. Ya banyak pengunjung pancuran tersebut berasal dari warga dormitory KIB.
Biasanya, Pengunjung pancuran melewati jalan dari Blok R. Wajar saja banyak orang menyebut pancuran Blok R. Mudah diingat. Padahal jarak objek wisata pancuran tersebut dengan dormitory KIB berjarak dua kilo meter.
Apa yang menarik di objek pancuran tersebut. Di katakan menarik. Setuju. Karena di Batam objek wisata alami sangat langka. Kebanyakan objek wisata pantai.
Pengunjung pancuran dapat menghilangkan beribu masalah setelah mengunjungi objek wisata tersebut pancuran ini. Objek wisata pancuran dapat memberikan pengalaman berbeda. Suasana pohon yang asri, suara air gemercik, air yang mengalir terasa sejuk, pemandangan air terjun yang indah. Dapat di jumpai di Objek wisata panjuran ini. Khususnya pada musim hujan. Pemandangan air terjun sangat menarik untuk dinikmati.
Udara di pancuran blok R masih asli. Pohon untuk penyangga air juga masih tersedia. Suara burung bernyanyi masih terdengar. Beberapa pengumuman himbauan juga dipasang oleh kelompok pencinta alam. Himbauannya adalah dilarang membuang sampah di lokasi objek wisata pancuran.
Kalau dikatakan tidak menarik bisa juga. Karena tak jauh dari lokasi objek pancuran tersebut. Perjalanan sekitar satu kilometer dari objek wisata Pancuran, pengunjung akan mendapatkan pemandangan yang mengecewakan. Why. Ya, hutan lindung yang menjadi paru-paru Batam sudah punah. Bahkan beberapa bekas tebangan berubah menjadi tempat penambangan tradisional.
Lho kok bisa. Ya begitulah keadaanya. Beberapa penambang batu tradisional terlihat sibuk membongkar bongkahan batu dari perut bumi. Bahkan penulis pun ikut membantu penambang tradisional memecah bongkahan batu.
Kekayaan alam tersebut dimanfaatkan oleh warga yang berasal dari sekitar Mangsang untuk mempertahankan hidup. Batu alam yang tersedia di sana digali dari perut bumi. Dipecah menjadi ukuran yang lebih kecil. Dikumpulkan. Lalu dijual kepada pembeli. Harga satu lori hanya diupah sebesar 250.000 saja.
Siang itu penulis bertemu dengan salah seorang penambang tradisionla. Jam di layar Hp menunjukkan pukul 10.30. Hujan membasahi bumi. Ada dua orang pekerja tambang tradisional memilih beristrahat pada sebuah pondok sederhana. Hujan tidak reda. Bahkan semakin menjadi. Penulis dan tim mulai basah kuyup. Kamera dan Hp diamankan dalam kantong plastik.
Salah seorang dari mereka menyambut penulis dengan ramah. Orang tersebut memiliki tinggi badan 170 centimeter. Kulitnya agak putih. Badannya atletis. Barangkali karena sehari-hari bekerja keras sehingga badannya terlihat kencang dan berotot.
Seorang lagi lainnya berkulit hitam tapi juga berotot. Mereka ramah. Menjelaskan panjang lebar tentang kondisi alam sekitar. Lelaki yang kulitnya putih menjelaskan kepada penulis bahwa di atas bukit dapat melihat keindahan jembatan Bareleng.
Penulis dan kawan-kawan lalu bergegas menuju puncak bukit. Ternyata pemandangan tertutup oleh kabut tebal. Jembatan Barelang tidak bisa dinikmati dari jauh. Penulis hanya bisa menikmati keindahan pemandangan pemandangan laut, Dam Duriangkang, dan perumahan di sekitar Tanjung Piayu. Di atas puncak kami mendapatkan sebuah pemandangan yang tidak biasa. Di atas bukit terdapat sebuah bangunan masjid. Keanehan langsung melintas di pikiran penulis. Masjid kok berada di atas puncak bukit (Gunung belum ada di Batam, adanya bukit) padahal di sekitar masjid tidak ada perumahan. Untuk menuju ke lokasi masjid tersebut membutuhkan stamina khusus bagi pejalan kaki. Kalau naik kendaraan pun tidak mudah karena jalannya berlumpur. Berbagai pikiran mendarat di kepala penulis. Tak lama kemudian , kami memilih pulang sambil membawa pertanyaan tentang keberadaan masjid yang lokasinya tidak umum tersebut.
Setelah bosan menikmati pemandangan dari puncak bukit, sekitar pukul 11.00 kami memilih balik ke dormitory melewati jalan yang sama. Di perjalanan pulang, penulis bersama Ridho dari Teater Gong, Cooky dari Syec2 dan Mis dari Pramuka mencoba pengalaman berharga yaitu memecah bongkahan batu bersama penambang tradisional.
Lama kelamaan bukit Blok R menjadi danau ,tolong bagi pihak tekait untuk menindak lanjuti penambang liar tersebut supaya tidak terjadi bencana bagi lingkungan
iya jadi kayak danau ajah tuh
ga juga sich,kok danau??scara danau kan luas??
keren… nice posting!