Miskin menjadi populer saat ini. Miskin dijadikan senjata untuk mencapai tujuan. Sejak kenaikan BBM, entah kenapa orang bangga menjadi orang miskin. Eh ternyata, predikat keluarga miskin mendapat durian runtuh yaitu jatah dana DLT (baca De-el-te). Warga kategori miskin menyerbu kantor pos. Mendapat kucuran dana dari pemerintah ratusan ribu rupiah. Namun aneh saja, karena ada banyak warga yang mengaku ngaku miskin ikut mengantri di kantor pos untuk mendapatkan dana BLT. Sedangkan warga yang seharusnya sangat miskin (tingakatannya di bawah keluarga miskin) justru tidak mendapat dana BLT hanya karena tidak mendapat kartu Be-el-te.
Miskin menurut pengertian kamus umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadarminta adalah tidak berharta benda, serba kurang. Miskin papa adalah sangat miskin.
Kemiskinan merupakan masalah bersama. Bukan hanya milik kaum papa. Kemiskinan sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan.
Istilah kemiskinan dipahami secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan.
Artinya, pemahaman terhadap istilah miskin tidak seragam. Karena ukuran pengertian miskin yang berbeda di inilah menyebabkan penyaluran Be-El-Te juga menghadapi masalah. Sasaran penerima Be-El-Te tidak akurat, apalagi kalau syarat penerima Be-El-Te hanya didasarkan dengan kepemilikan KARTU Be-El-Te.
Kemiskinan dipahami dalam berbagai kerangka berpikir. Pemahaman utamanya mencakup sebagai berikut:
Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar. Kelangkaan kebutuhan dasar. kalau dirujuk ke teori motivasi Maslow, masuk pada kategori kebutuhan yang sangat mendasar.
Jangan Senang Dikategorikan Miskin
Ketika pemerintah menyalurkan dana BLT melalui kantor Pos di seluruh Indonesia. Menjadi santapan pers untuk diliput. Entah sadar atu tidak penerima dana Be-El-Te yang mengantri di kantor Pos tidak semuanya mencerminkan orang miskin karena sang penerima dana tersebut membawa kendaraan bermotor, memakai emas.
Penulis pernah melihat di TV salah seorang penerima Be-El-Te yang kebetulan mengenali sang penerima dana tersebut. Sang penerima dana memiliki warung kecil, rumah tipe 27, istrinya bekerja, mempunyai anak dua orang. Ia memeiliki TV, memiliki motor. Ia juga memiliki beberapa ekor ayam jago, karena hobbynya memelihara dan mengadu ayam jago. Ia adalah penerima dana De-El-Te karena memiliki kartu penerima dana De-El-Te.
Melihat kasus di atas, tercermin bahwa ada warga masyarakat yang tidak malu mencap dirinya sebagai warga miskin demi mendapat dana Be-El-Te. Saat ini warga miskin Indonesia mencapai angka 41,7 juta jiwa (21,92%). Menurut indikator kemiskinan Bank Dunia, miskin bila penghasilan perhari 1 US Dollar.
Program kompensasi dari kenaikan BBM yang digulirkan pemerintah seperti Bantuan Langsung Tunai (Be-El-Te), Bantuan Khusus Mahasiswa (BKM) dan kompensasi-kompensasi lainnya dinilai banyak kalangan menciptakan karakter bangsa pengemis dan mental orang miskin.
Pemerintah dianggap senang menggunakan terminologi-terminologi yang mengarah kepada stigma kemiskinan dalam setiap program-programnya seperti raskin (beras untuk keluarga miskin), askeskin (asuransi untuk keluarga miskin) dan program-program kemiskinan lainnya.
Sosiolog Uniersitas Indonesia Imam B Prasdjo mengatakan Beras Miskin (Raskin), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bantuan Khusus Mahasiswa (BKM) adalah istilah stigmatis.
Stigma adalah bahasa Inggris yang berati cacat atau noda. Kalau melihat pendapat sosiolog Imam B Prasdjo diatas yang mengatakan bahwa istilah BLT, BKM, raskin adalah istilah stigma (cacad, noda).
Penulis jadi ingat pesan pak ustaz di masjid saat ceramah agama yang mengatakan bahwa manusia yang terbaik adalah yang menempatkan tanganya di atas, bukan di bawah. Yang bermakna jadilah orang yang suka menolong, Bukan manusia peminta.
Kalau ditelusuri lebih jauh pengertian memberi ternyata mengandung makna yang mulai. Memberi adalah filofosi dasar dari bekerja. Pengertian bekerja adalah memberi nilai tambah.
Siapa saja yang memberi nilai tambah dapat disebut bekerja. Pemulung yang mengumpulkan sampah plastik lalu di jual dan hasilnya dipakai untuk membiayai keluarganya disebut bekerja. Penjual koran di lampu merah yang menggunakan keuntungan penjualan korannya digunakan untuk biaya sekolah keluragnaya adalah memberi nilai tambah.
Orang yang bekerja belum tentu berpredikat pekerja. Karena Pekerja adalah orang yang menerima upah secara teratur dari lembaga atau institusi tempat ia bekerja. Tapi belum tentu memberi nilai tambah bagi masyarakat, perusahaan atau institusinya.
Sedangkan pemulung, penjual kaki lima, penjual koran di lampu merah adalah orang yang ulet bekerja. Kaum mereka tidak digaji secara teratur dari lembaga yang diikat dalam suatu kontrak kerja atau perjanjian kerja.
Maka sangat aneh ketika ada orang yang berstatus pekerja (dibayar upahnya secara teratur setiap bulan dari perusahaan, istitusi) namun masih mengharap Be-El-Te.