Buruh yang bergabung di SPMI Batam melakukan pemanasan pada tanggal 8 Oktober 2009 menjelang pembahasan UMK 2010. Ratusan pekerja melakukan unjuk rasa damai di depan gedung Pemko Batam dan DPRD Tingkat I Batam untuk menyuarakan aspirasi mengenai penolakan terhadap perusahaan yang bergerak di bidang outsourching.
Buruh menilai praktek outsorrching saat ini hanya menguntungkan perusahaansaja.Karyawan dirugikan, karena itu buruh menuntut dihapusnya sistem outsourching.
Namanya Ninik bekerja di salah satu perusahaan di daerha Batam Center, ia mengaku kapok bekerja melalui perusahaan outsourcing karena gajinya dipotong banyak oleh agen outsourching tempat ia direkrut.
Banyak kisah yang dialami oleh ninik di kota Batam. Ada ribuan orang yang mengalami nasib sama dengan Ninik. Selain upah yang dipotong, ada juga buruh yang hak-haknya tidak dipenuhi seperti jamsostek, lembur, tidak mendapatkan kesempatan mengikuti pelatihan untuk pengembngan diri, serta kontrak yang tidak disertai perjanjian kerja.
Sistem kontrak yang dialami oleh uruh outsourching umumnya berdurasi singkat, ada yang dikontrak hanya 3 bulan, enam bulan, setahun. Buruh yang dikontrak cukup lama model kontrak dua tahun pertama diperpanjang setahun dan renewal selama dua tahun dalam satu perusahaan saat ini sangat langka ditemui. Jaman keemasan itu hanya tinggal sejarah. Kini buruh selalui dihantui perasaan takut menjelang habis kontrak, karena memikirkan nasib hari esok ketika menjelang kontrak berakhir. Berjuang lagi darinol mencari lowongan kerja.
Ketika kontrak memasuki minggu terakhir dan tidak ada kepastian kontrak kerja diperpanjang oleh pemakai, umumnya buruh mulai resah dan gelisah. Konsentrasi terhadap pekerjaan terpecah. Pikiran hanya tertuju pada lowongan kerja berikutnya. Jangan harap memikirkan produktivitas dan pengembangan karir kalau durasi pekerja sangat singkat dan tidak ada perpanjangan. Mayoritas Buruh yang erikat kontrak dan pola outsourching saat ini hanya mengejar uang sebagai modal untuk mencari kerja saat kontrak berakhir atau melanjutkan sekolah setelah tidak lagi diterima sebagai buruh karena hambatan usia.
Pengalaman penulis ketika mengajak buruh untuk mengikuti kegiatan berorganisasi untuk mengembangkan diri mereka saat ini menghadapi kendala yang lebih berat di banding tahun – tahun sebelumnya. Pada jaman sistem kontrak dengan pola Perjanjian Kerja Wwaktu Tertentu Aantar Kerja Antar Daerah, pada saat itu durasi kontrak kerja buruh cukup lama hingga .mecapai lima tahun (pola 2 tahu kontrak pertama lalu diperpanjang setahun dan renewal dua tahun). Ketika itu buruh cenderung konsumtif di tahun pertama bekerja karena baru merasakan enaknya menerima gaji sehingga ada kesempatan memuaskan keinginannya untuk memliki barang-barang yang saat SMA hanya jadi mimpi. Ketika memasuki tahun kedua para buruh mulai berpikir untuk mengembangkan diri, sehingga mereka bergabung dalam organisasi sosial, olahraga, kuliah atau kursus. Pada tahun kedua bekerja sudah muncul perasaan bosan bekerja sebagai buruh di pabrik karena adanya monoton di tempat kerja , karena itu mereka membangi waktu senggangnya di luar jam kerja dengan memasuki berbagai macam kegiatan sosial,budaya, olahraga, keagamaan.
Kini kondisi tersebut agak sulit terlaksana lantaran kontrak kerja buruh yang
Umunya berdurasi pendek. Jangankan memikirkan kegiatan pengembangkan diri, melalui pelatihan yang dilakukan di internal perusahaan hingga pengiriman tenaga kerja ke luar negeri untuk mengikuti training hanya tinggal kenangan.
Hal ini perlu disayangkan karena proses transformasi pengetahuan, keterampilan secara tidak langsung ikut berpengaruh ketika buruh perusahaan tidak dijadikan sebagai asset perusahaan. Kondisi buruh saat ini dalam pola kontrak singkat tidak akan (sulit) mendapatkan banyak pengetahuan, keterampilan. Kondisi mereka mirip seperti mesin, dimana buruh harus bangun pagi lalu berangkat kerja setelah itu melaksanakan kewajiban sebagai buruh yang kadang-kadang harus lembur seven to seven. Tak lama kemudian kontrak mereka habis. Setelah itu buruh kembali dihantui ketidakpastian. Upaya yang ditempuh adalah balik lagi memeoloti iklan lowongan kerja demi (urusan perut) mencari perusahaan baru. Begitu diterima status buruh kembali lagi dari nol karena di perusahaan sebelumnya mereka tidak megalami transfer pengetahuan, teknologi yang cukup sebagai referensi menduduki posisi yang lebih tinggi.
Dampak yang terjadi dari penerapan sistem kerja outsourching illegal menimbulkan berbagai dampak lain. Kini perusahaan di Batam sulit mendapatkan sumber daya yang terampil. Buruh yang selama dini dipekerjakan lantaran tidak disiapkan untuk mengisi posisi tertentu akhirnya memilih balik kampung lantaran tak kuat bekerja terus menerus sebagai operator. Sementara lulusan SMA lokal Batam memilih kuliah. Lulusan SMA lokal Batam juga memiliki gengsi sebagai buruh operator.
Beberapa rekan di bidang Human Resource mengeluh karena kini sulit mencari tenaga (buruh) operator. Kondisi tersebut tidak hanya terjadi di batam tapi juga di Lobam.
Kondisi itu diperparah dengan kebijakan Pemerintah Kota Batam yang menerapkan sistem perdaduk yang membatasi pendatang masuk ke Batam. Tanpa disadari sumber daya manusia dan terampil di Batam sulit diperoleh . Di satu sisi, tenaga kerja lokal (level buruh) tidak diarahkan untuk menguasai (meningkatkan) keahliannya . Jadinya Batam paceklik SDM. Sementara investor luar negeri tidak berhenti menanamkan investasinya di Batam. Hal ini dapat memperlemah nilai Batam di mata investor lantaran urusan pemenuhan tenaga kerja tidak semudah yang biomongkan oleh bagian marketing dan media massa.
Kembali ke masalah outsourching. Outsourching itu sendiri sebenarnya netral. Yang merusak adalah adanya oknum yang menyalahgunakan Undang-Undang. Karena disalahguakan sekian lama sehingga tercipta persepsi negatif mengenai praktek outsourching secara menyeluruh. Outsourching menjadi negatif di telinga buruh. Padahal kalau praktek outsourching mengikuti prinsip yang benar sesuai dengan UU Nomor 13 tahun 2003 sebenarnya tidak bermasalah.
Ditengah polemik tentang praktek outsourching illegal, sebenarnya banyak juga buruh yang merasa nyaman mesiki terikat dalam model kontrak outsorching. Penulis melihat pada beberapa perusahaan yang memperkejakan karyawan outsourching dengan cara yang benar dan manusiawi. Buruhnya senang karena penghasilannya tidak dipotong sama sekali oleh perusahaan yang memperkerjakannya. Buruhnya diperlakukan dengan manusiawi, perusahan memberikan hak-hak buruh sesuai dengan kontrak kerja, diberikan pelatihan di luar jam kerja, jamsosteknya diberikan, lemburnya dibayarkan sesuai dengan standar aturan yag benar, buruh disediakan perumahan (dormitory), bahkan masih dilengkapi dengan angkutan antar jemput.
Lalu apa yang menyebabkan masalah perburuhan menjadi ruwet. Jawabnya sederhana, ya tata kelola yang tidak dilakukan dengan transparan dan accountable dapat menyebabnya praktek nepotisme, korupsi dan kolusi menjadi subur. Pada saat ini jiwa kapitalis yang serakah tidak lagi melihat praktek perburuhan dengan hati atau menggunakan Undang-undang Ketenagakerjaan. Ketika kondisi laten itu dipelihara, nasib buruh menjadi taruhannya.
Praktek korupsi antara patron (bisa diisi oleh oknum yang bertanggungjawab pada bidang ketenagakerjaan) dan kliennya adalah perusahaan outsorching yang rajin memberi upeti ke oknum pejabat tertentu serta oknum HR diperusahaan pemakai tenaga kerja , adalah lingkaran hitam yang mejadikan praktek outsourching semakin liar.
Pemerintah Indonesia seharusnya tidak hanya galak mengejar peraktek KKN di legislatif dan eksekutif level atas. Masalah terbesar untuk perburuhan justru terjadi di level bawah. KPK seharusnya mengirim stafnya untuk menelusuri perputaran uang tak jelas yang terjadi di lingkaran atau mafia tenaga kerja (oknum pegawai pemerintah yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan, perusahaan outsorching, dan oknum HRD).
Berikut adalah uraian menegani outsourching. Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 pasal 64 mengatakan bahwa, perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secra tertulis.
Pasal 65 (1)mengatakan, penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
Pasal 65 (2) mengatakan, pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) harus mememuni syarat-syarat sebagai berikut:
- dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama
- dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan
- merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan dan
- tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum.
Pasal 65(3) mengatakan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja /buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat(2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan berlaku
Pasal 65(4) mengatakan, perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat(2) diatur lebih jauh dalam Keputusan Menteri.
Pasal 65(5) mengatakan, hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertullis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.
Pasal 65(6) mengatakan, hubungan kerja sebagaimana dimaksdu dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59.
Pasal 65(8) mengatakan, dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubuungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).
Pasal 66(1) pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsug dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
Pasal 66(2) mengatakan, penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut:
- adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
- Perjanjian kerja waktu yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian waktu kerja tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak.
- Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggungjawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
- Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini
Pasal 66(3) mengatakan, penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaaan.
Pasal 66(4) mengatakan, dalam hal ketentuan sebagaiamana dimaksud dalam ayat (10), ayat(2) huruf a, b dan d serta ayat (3) tidak pterpenuhi , maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja.buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
outsourcing di Indonesia dengan di LN sangat berbeda, Di sini mereka seperti calo saja, ambil uang karyawan dengan semena-mena. Saya lihat itu ada kondisi dimana mereka bekerjasama dengan HRD untuk penggajian.
Apa yang didapat dari perusahaan dengan yang diterima oleh karyawan berbeda. Ada potongan2 dan jaminan status yang tidak jelas. Karyawan lewat outsourcing tidak mendapatkan hak-haknya secara penuh.
Untuk di LN, konsepnya berbeda, mereka hanya mencarikan orang yang sesuai dan setelah orang itu masuk mereka mendapatkan fee dari end user.
begitulah adanya….
kaitannya dengan pengembangan sistem informasi ada gag ??