Sebuah perusahaan besar, yang memliki karyawan ratusan orang. Sudah melaksanakan standarisasi ISO . Bagian HRD adalah salah satu Departemen yang paling serius mengatur, merencanakan dan mengelola peningkatan kompetensi karyawan. Trainer officer rutin mengejar karyawan untuk mengikuti pelatihan sesuai kriteria kinerja dan jadwal pelatihan yang sudah di susun setahun sebelumnya.
Saat sang Training Officer menentukan karyawan mengikuti pelatihan, beberapa karyawan tidak merespon dengan baik. Jadinya pelatihan tetap berjalan namun bukan bertujuan untuk meningkatkan kompetensi karyawan. Pelatihan dilakukan hanya demi memenuhi target atau kriteria kinerja sesuai tuntutan ISO. Pelatihan dilakukan bukan karena adanya gap. Pelatihan dilaksanakan demi memenuhi standar ISO.
Tidak bijaksana juga bila perusahaan tidak memberikan pelatihan bagi karyawan. Banyak perusahaan besar yang memiliki kantor pusat di luar negeri. Ternyata tidak mengupayakan pelatihan bagi karyawannya. Alasan utama adalah tak ada budget untuk pelatihan namun budget untuk Annual Dinner justru melimpah.
Di Departemen Sumber Daya Manusia diakui bahwa bagian pelatihan termasuk bagian menyedot budget yang besar. Namun perlu digaris bawahi bahwa pelatihan bagi karyawan adalah bagian dari investasi jangka panjang. Karyawan bukanlah robot. Bukanlah benda mati yang hanya dituntut demi pencapaian kinerja perusahaan semata. Justru demi meningkatkan kinerja perusahaan , karyawan sebagai ujung tombak perusahaan wajib dikembangkan kompetensinya sehingga perusahaan bisa bersaing dengan kompetitor yang terus menerus melakukan inovasi.
Perusahaan besar dunia semakin maju karena mengembangkan bagian Riset dan Development. Sebagai salah satu perusahaan yang berkecimpung di bidang Information Communications Technology, Huawei mengaku sangat memperhatikan divisi riset dan pengembangan. Perusahaan asal China ini berani mengucurkan dana 10% dari total pendapatannya untuk divisi tersebut. “Kami mengalokasikan USD 10 miliar atau sekitar 10% dari total pendapatan kami untuk proses Research and Development,” kata Scott Sykes, Vice Presiden Global Affair Huawei.
Siang itu kursus bahasa Inggris untuk karyawan di salah satu perusahaan besar. Saya memperhatikan wajah sang Trainer Officer. Ia tampak kesal karena jumlah peserta pelatihan tidak lengkap. Beberapa peserta tidak duduk di kursi pelatihan. Saat saya menanyakan ke peserta yang datang terlambat, dia menjawab, “ sudah buntu otaku belajar bahasa Inggris”.
Apapaun jenis pelatihan tersbeut mestinya harus dikaji lebih dulu. Apakah sasaran pelatihan yang dibuat sesuai dengan kebutuhan. Apakah analisa kebutuhan pelatihan sudah efektif. Ketika pelatihan dilakukan tanpa analiasa kebutuhan pelatihan yang efektif kemungkinan hanya pemborosan yang diperoleh. Mubasir melakukan pelatihan jika tidak ada peningkatan kompetensi. Sia- sia waktu, tenaga, pikiran bila hasil pelatihan tidak memberi dampak positif.
Agar analisa kebutuhan pelatihan dapat diketahui ada beberapa langkah yang bisa ditempuh sehingga trainer officer dapat mengentahui gap kompetensi pada diri karyawan.
Peningkatan kompetensi dapat dilihat dari tiga hal. Peningkatan ilmu pengetahuan, peningkatan skill dan peningkatan sikap. Hasil pelatihan yang efektif adalah tahu, mampu dan mau. Peningkatan kompetensi tentunya akan berpengaruh pada peningkatan produktifitas. Pelatihan adalah langkah yang baik untuk meningkatkan daya saing perusahaan.
Ada sejumlah metode untuk mengetahui informasi analisa kebutuhan pelatihan. Diantaranya adalah : Survey, wawancara, laporan prusahaan, media massa, konsultasi, wawancara kerja, catatan, laporan. Tujuan melakukan analisa kebutuhan pelatihan untuk membantu menentukan isi pelatihan. Menyesuaikan bahan training dengan kebutuhan khusus peserta. Juga bertujuan untuk mengembangkan hubungan dengan peserta.
Analisa kebutuhan pelatihan diharapkan dapat memberikan gambaran kongret mengenai pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan peserta. Ada korelasi antara materi pelatihan dengan kebutuhan peserta pelatihan dapat meningkatkan passion peserta pelatihan.
Begitu banyak pekerja yang bergairah saat memasuki dunia kampus setelah lebih satu dekade sibuk sebagai pekerja. Bekerja sambil kuliah kegiatan yang menguras banyak waktu. Namun semangat untuk berkembang tidak menyurutkan niat para pekerja untuk menuntut ilmu. Kenapa gejala ini tidak ditangkap oleh perusahaan untuk mengembangkan karyawannya. Bukankah era saat ini adalah era dalam persaingan sumber daya manusia. Sumber daya alam, aset perusahaan, boleh saja saat ini hebat namun perusahaan yang tidak ditangani SDM yang kompetensi dan etos kerja yang baik bisa tersingkir oleh ketatnya persaingan.
Bertumbuhnya tempat pelatihan, kursus, seminar, workshop mencerminakan bahwa sumber daya manusia haus akan ilmu pengetahuan, haus akan skill. Banyak pekerja di lingkungan kita yang rela menuntut ilmu pengetahuan dan menuntut peningkatan skill di waktu senggang mereka. Ratusan pekerja yang mengalokasikan waktu wereka untuk sekolah lagi atau kursus setelah pulang bekerja. Mereka yang haus ilmu pengetahuan dan skill tersebut bahkan berani meghabiskan tabungan mereka demi pendidikan. Seharusnya officer trainer menangkap fenomenan ini. Tida nyambungnya kebutuhan pelatihan dengan hasil yang diharpkan bukan karena peserta tidak butuh peningkatan kompetensi. Bisa jadi masalahnya adalah seputar perselisihan industrial.
Tenaga tenaga yang kompeten saat ini menjadi buruan head hunter. Perusahaan memasang iklan yang bernilai jutaan rupiah di media massa demi mendapatkan sumber daya manusia yang sesuai kebutuhan perusahaan. Perusahaan menginginkan yang sudah jadi alias instan. Perusahaan rela mengeluarkan biaya besar untuk memasang iklan demi mencari sumber daya manusia yang telah memiliki kompetensi, atau sudah memiliki akreditasi. Kondisi ini yang menjadi masalah tersendiri karena pekerja banyak yang belum melengkapi dirinhya dengan skill, ilmu pengetahuan sesuai standar pemakai. Bahkan ada Manager HDR yang tidak malu membajak pekerja dari perusahaan lain demi memperoleh Sumber daya manusia yang hebat. Padahal dari segi etika , perbuatan membajak karyawan perusahaan lain adalah tindakan yang egois. Menang sendiri. Tidak menghargai proses. Sebuah tindakan yang tidak care terhadap tata kelola perusahaan.
Ada juga stigma yang penulis perhatikan di lapangan. Perusahaan tak memberikan pelatihan kepada karyawan karena dianggap pemborosan, si karyawan yang sudah dibekali tersebut banyak yang loncat ke perusahaan lain demi upah yang lebih besar. Apakah lantaran adanya stigma seperti ini perusahaan menganggap pelatihan tidak penting! Kini mulai muncul trend, ketika outsourching dilarang, karyawan kontrak mengharapkan jadi status permanen. Karyawan permanen yang sudah bekerja di atas lima belas tahun berada dalam comfort zone. Mereka minta di PHK agar mendapatkan pesangon. Karyawan bosan bekerja muncul karena mereka tidak diberi tantangan dan peningkatan diri. Jangan salahkan bila mereka tidak mau maju, karena selama ini mungkin mereka dibiarkan dengan rutinitas yang monoton.