Pengemis mudah kita temui. Sering beroperasi di lampu merah, rumah ibadah, di jalan. Pengemis yang kita lehat berpakaian lusuh, kotor, berkulit gelap. Pengemis kadang juga tampil dengan anggota tubuh yang tidak lengkap. Pengemis bisa menggunakan kekurangan anggota tubuhnya sebagai modal mencari simpati. Menggendong bayi untuk mendapatkan simpati dari pengguna jalan. Pengemis tahan dengan sinar matahari yang bersinar terik, tahan dengan hujan. Mereka menjadikan panasnya terik matahari untuk menarik simpati. Kreatif. Pengemis beroparasi tak mengenal waktu kerja.
Pengemis dapat berkegiatan seperti pengusaha. Mau beraktifitas dari pagi, sore atau malam hari. terserah mereka. Berkegiatan hanya selama satu jam, atau dua jam pun boleh boleh saja. Pengemis merdeka. Mereka tidak perlu dapat surat peringatan bila melakukan kegiatan kurang dari empat puluh jam seminggu. Datang terlambat ke lampu merah pun tidak akan mempengaruhi performance mereka.
Pengemis juga tidak pernah mengeluhkan harga harga kebutuhan pokok yang cenderung tidak stabil. Pengemis tidak peduli dengan Upah Minimum Kota yang ditentang oleh pengusaha. Mereka tetap eksis. Mau pengusaha dan buruh berantem. Mereka tetap santai. Mereka santai meminta, ” minta uangya pak, sudah dua hari tak makan.”
Berdasarkan Cash Flow Quadran Robert Kiyosaki. Bolehlah Pengemis berada pada kuadran dua. Dia bebas menentukan penghasilan yang mereka inginkan. Ketika tidak turun ke jalan (cari nafkah) penghasilan mereka juga berhenti. Kadang kadang pengemis juga berada di kuadran tiga, memiliki usaha seperti kos kosan.
Petugas Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan menemukan fakta mengejutkan. Dalam sehari, pengemis di Jakarta bisa mengantongi penghasilan yang luar biasa dibandingkan dengan buruh. Pengemis mampu mengumpulkan penghasilan sekitar Rp 750 ribu hingga Rp 1 juta. Angka yang bisa diperoleh tanpa demo ke kantor Disnaker. Hanya modal nongkrong di jalan jalan sambil bawa kaleng sebagai wadah menampung uang receh. Ah mudahnya.
Satu hari Rp 1 juta, kalikan 30 hari. Pengemis ini bisa dapat Rp 30 juta per bulan. Bermodal perkusi dari tutup botol, anak-anak jalanan meraup Rp 12 juta lebih.
Bandingkan dengan gaji manajer di Jakarta. Gaji manajer rata rata Rp 12 hingga 20 jutaan. Gaji pemimpin cabang sebuah bank rata-rata Rp 16 juta. Sementara Kepala Divisi Rp 20 juta.
Untuk fresh graduate atau sarjana yang baru lulus dan belum berpengalaman. Kisaran gajinya Rp 2 juta hingga Rp 3,5 juta. Jika beruntung, ada perusahaan mampu memberi hingga lebih Rp 4 juta. Tapi sangat jarang. Gaji seorang manajer kalah oleh pengemis. Padahal pengeluaran manajer juga cukup besar. Manajer hatus mengeluarkan gaji buat beli rumah, mobil, perawatan diri. Sedangkan pengemis makin kaya, karena mereka makan nasi bungkus di pinggir jalan yang berdebu. Tak ada perawatan badan. Uang yang dikumpulkan tidak kena pajak penghasilan.
Bandingkan kehidupan buruh. Dengan penghasilan bulanan sekitar dua jutaan. Tanpa lembur. Mereka harus mengeluarkan ongkos untuk transportasi, bayar listrik, bayar air, beli beras, minyak, sayur, ikan, dan aneka kebutuhan yang harganya di pasaran tidak pasti. Lebih sering naik dibanding turun. Ketika ada isu kenaikan harga bahan bakar minyak, pasti diikuti kenaikan harga sembako. Ketika gaji pegawai negeri naik, harga – harga di pasaran juga berlomba ikut naik. Ketika ada ombak laut sedang tinggi, pasokan kebutuhan sembako terputus harga langsung terbang. Ketika pemilihan legislatif dan presiden mendekat, tiba tiba harga daging meroket. wk wk wk…
Ah mudah sekali harga kebutuhan pokok di negeri ini meninggalkan kemampuan pembeli yang mayoritas buruh dan pegawai rendahan. Saat harga harga meroket daya beli masyarakat tingkat bawah juga terpuruk. Siapa yang memperjuangkan mereka ketika harga harga melonjak. Media sibuk mencari jawaban. Namun setelah jawaban ketemu (akar masalah), pengambilan keputusan tetap tidak berpihak kepada golongan rendah. KPK lalu disibukkan mengejar petinggi politik dan pengusaha yang kongkalikong. Satu demi satu digiring ke penjara. Uang rakyat yang harusnya untuk pendidikan gratis, yang seharusnya untuk membantu pengobatan gratis. Ketahuan. Rupanya uang tersebut tersembunyi rapi di balik garasi petinggi politik dan pengusaha dalam bentuk mobil mewah. Dalam bentuk rumah mewah dan juga untuk memberi uang shwat ke sejumlah wanita cantik.
Ketika petinggi politik dan pengusaha tertangkap dan masuk jeruji. Harga di pasaran tetap bertahan. Kemampuan buruh dan pegawai golongan bawah tetap menjerit.
Ketika buruh bergolak menuntut kenaikan upah. Buruh bersatu. Memasuki bulan November dan Desember demo menolak upah rendah terjadi di kantor – kantong kawasan industri. Ketika buruh mogok biasanya menjelang penetapan UMK. Kegiatan aktifis buruh bagai pejuang tahun empat lima. Kepala diikat, panji panji dikibarkan, spanduk dibentang. Besar. Bersatu. Tak kenal takut. Polisi dilawan, pagar berduri dihadang. Water Canon ditantang. Pagar gedung dewan dirobohkan. Pagar perusahaan dikoyak. Buruh bersatu. Pengusaha takut. Pengusaha dan buruh seperti musuh bebuyutan. Berhadap hadapan mempertahankan diri. Pihak pengamanan bingung berada di tengah tengah. Kadang-kadang bingung harus mengamankan pihak yang mana.
Saat musim demo selesai, ketika usulan Upah Minimum Kota sudah disepekati. Warga golongan bawah kembali berteriak, harga harga di pasar rakyat hingga di Mall serempak naik tangga. Buruh kembali bingung, pengangguran bingung, pegawai negeri golongan rendahan bingung. Ah kenapa harga selalu berlari cepat seperti seekor harimau Afrika. Dan uniknya kegalauan seperti ini rutin terjadi setiap tahun. Sejak tahun 2001 hingga 2013 hal ini terulang. Pola yang sama. Tidak kreatif. Tak pernah menemukan akar masalah. Tak ada solusi. Kejadian selalu berulang. Membosankan.
Apakah kenaikan upah solusi untuk mengejar kesejahteraan. Jawabnya tidak. Kesejahteraan tidak pernah bisa diikur dengan kenaikan upah. Bohong besar kenaikan upah yang tinggi mampu mensejahterahkan buruh. Kesejahtaraan buruh dan golongan pegawai golongan bawah hanya bisa menikmati kesejahteraan bila pemerintah menjalankan tata pemerintahan (GCG) yang bersih. Selagi tingkat korupsi dinegeri ini masih merajalela. Jangan mimpi buruh sejahtera.
Sebagai contoh. Kabupaten Bantaeng, sebuah kabupaten di Sulawesi selatan, ketika Bupatinya yang dipimpin dari kalangan akademisi melakukan tata kelola pemerintahan dengan baik maka rakyatnya juga menikmati peningkatan penghasilan. Tingkat pertumbuhan ekonomi meningkat. Penghasilan warga meningkat. Investor berlomba menanamkan modal di sana. Padahal jaraknya lumayan jauh dari kota Provensi Sulawesi Selatan. Sekitar seratus lima puluh kilo meter. Saat penulis liburan bulan Oktober lalu, diam – diam melakukan survey ke Kabupaten Bantaeng. Terbukti dengan mata sendiri, penulis bisa membandingkan. Saat Kabupaten tetangga Bantaeng terlihat tandus dan gersang. Sebaliknya lahan pertanian di Bantaeng terlihat hijau segar. Jagung tumbuh subur, sawah menghijau, dan pesisir pantai terlihat panen rumput laut membentang. Melimpah.
Kabupaten Bantaeng juga menata infrastruktur dengan baik. Jalan mulus, Rambu jalan terpasang rapi. Listrik terang menerangi jalan. Pemadam kebakaran stand by dua puluh empat jam. Sebuah keberhasilan yang dibangun dari Tata kelola Pemerintahan (GCG) yang bersih. Indahnya.
Cara lain untuk mensejahterahkan buruh adalah usaha mandiri. Komunitas buruh sebaiknya membangun sendiri pusat perbelanjaan yang pro buruh. Bila buruh bersatu dan memiliki pusat perbelanjaan maka harga bisa dikontrol sesuai kepentingan buruh. Buruh jangan hanya bersatu menuntut (berorasi di jalan) kenaikan upah. Tapi buruh juga bersatu memiliki pusat perdagangan untuk buruh. Buruh sudah saatnya membangun usaha mereka sendiri. Sudah saatnya buruh tidak belanja sama pengusaha. Hanya satu kata, Proaktif. Buruh memiliki jutaan anggota. Buruh memiliki iuran. Kenapa buruh tidak membangun bank sendiri. Kenapa buruh tidak membangun supermarket sendiri. Kenapa buruh tidak membangun pasar tradisional sendiri. Kenapa Buruh tidak membangun armada kendaraan sendiri. Jangan menghabiskan iuran buruh hanya untuk kegiatan demo dan mensukseskan calon legislatif dari golongan buruh. Pilihlah yang lebih prioritas. Semoga bermanfaat.
Artikel yang menarik mas
pengemis … mengemis …. pasti mereka penganut faham ” tangan di bawah lebih baik daripada tangan di atas”