Jumlah pengangguran kini masih tinggi. Lulusan Sekolah dari level Sekolah Dasar hingga Bangku Kuliah berjuta banyaknya. Tiap tahun pencari kerja berebut melamar pekerjaan. Menjadi pegawi negeri masih menjadi primadona. Khusus lulusan perguruan tinggi jumlahnya makin meningkat dan persaingan makin ketat. Bukan kanya lulusan strata satu saja yang bingung mencari lowongan kerja. Lulusan Strata dua juga sudah mulai menumpuk.
Lulusan stara satu dan strata dua banyak yang memiliki IPK diatas tiga. Lulus dengan IPK di atas angka 3 adalah perjuangan yang tidak mudah. Untuk lulus dengan IPK di atas tiga harus melewati sejumlah mata kuliah. Banyak ujian yang harus dilakukan. Banyak materi kuliah yang harus diambil. Namun IPK di atas tiga dan banyaknya mata kuliah yang pernah diikuti bukan jaminan sukses di lapangan kerja.
Bila diamati di dunia kerja. Lulusan yang ber IPK lebih tiga merasa mudah mendapatkan pekerjaan apalagi sudah lulusan strata dua. Di lapangan berbicara lain. Fresh graduated dan belum memiliki pengalaman kerja ketika memasuki dunia kerja sudah membentuk mind set bahwa nilainya mahal. Menganggap gaji yang diperoleh otomatis harus tinggi. Karena biaya kuliah yang ia keluarkan saat kuliah selama empat tahun di strata satu dan dua tahun di strata dua memakan biaya yang sangat mahal.
Berdasarkan pengamatan penulis di lapangan, saat memasuki dunia kerja lulusan pendidikan di atas mengharap gaji minimal dua kali gaji Upah Minimum Kota. Tak sudi digaji kecil. Akhirnya memilih jadi pengangguran. Sementara tiap tahun dunia kampus tidak memperbaiki diri. Asyik dengan cara pandang lama. Menjejali mahasiswa dengan konsep dan teori. Sudah bangga kalau nilai mahasiswa mendapat IPK di atas 3. Tak peduli pada jumlah pengangguran yang terus meroket. Pihak kampus hanya sibuk pada mind memory.
Mari kita amati sekilas. Ke manakah para juara kelas? Kemanakah para banggaan guru? Ke mana siswa yang dulu mendapat beasiswa Supersemar. Ketika memasuki lapangan kerja ternyata mereka bukan lagi bintang. Tak percaya. Lihat saja di sekelilingan kita. Begitu banyak sarjana yang miskin gemblengan, yang jarang menerima kesulitan, yang terlalu mudah menghadapi hidup, tak ikut berjuang memikirkan uang kuliah. Begitu memasuki dunia kerja justru gagap.
Kata Rhenald Kasali mengutip Carol Dweck, mengatakan bahwa anak anak yang menemukan sesuatu dengan mudah di sekolah atau cepat mendapat nilai A di kelasnya mempunyai tendensi fixed mindset.
Fixed mind set adalah cara berpikir yang terbentuk saat seseorang mendapatkan kemudahan yang membuatkanya ingin berlindung dalam kemudahan itu. Dampaknya, tertanam dalam pikiran mereka bahwa hidup akan selalu mudah dan kurang menghargai proses belajar yang harus dilewati dengan kerja keras, ketekunan, disiplin dan perjuangan.
Coba amati di dunia pendidikan tinggi. Mereka yang mengambil kuliah di kampus elit dan mahal adalah anak orang kaya yang orang tuanya mampu membayar puluhan juta rupiah. Sang anak tinggal kos kosan mahal, sang anak hanya membaca, menghapal, berorganisasi, tiap bulan mendapat jatah bulanan dari orang tua secara teratur. Biaya bulanan sang anak yang diterima juga adalah biaya di atas rata rata. Budget bulanan sang mahasiswa bukan hanya membayar biaya semester, kost, tapi juga membiayai hedonisme sang mahasiswa. Anak orang kaya dibekali motor hingga mobil, pulsa internet, baju baru hingga biaya nongkrong di mall.
Orang yang sukses dengan mudah di sekolah banyak yang terperangkap dalam fixed mindset. Mereka percaya telah memiliki tiket resmi untuk memimpin. Akibatnya takut membuat kesalahan.Takut membuat kegagalan. Tak berani mencoba hal hal baru. Golongan fixed mindset kwatir membuat kesalahan, mereka percaya bila membuat kesalahan akan menjatuhkan citranya sebagai orang pintar.
Carol Dweck menganjurkan agar orangtua yang memiliki kecerdasan diatas rata rata jangan diberi apresiasi terlalu cepat. Jangan terburu buru memberi cap anak cerdas. Anak anak yang diberi cap cerdas akan menyamakan cerdas sebagai quick and easy process. Kelak di kemudian hari anak fixed mindset ini takut menghadapi tantangan baru. Takut menanggung resiko. Yang pada akhirnya, kata Rhenald Kasali sang anak akan menjadi manusia berkarakter passengers.
Rhenald Kasali juga mengutip Michalko dalam bukunya Creative Thingking mengatakan fixed mindset cenderung terbentuk pada orang orang yang memiliki karakter high self monitors. Orang orang bertipe ini perhatian utamanya adalah terlihat hebat dan cerdas. Mereka sangat peduli bagaimana orang lain melihat atau mengevaluasi kehebatan dan kecerdasan mereka. Kecerdasan itu harus ditunjukkan. Mereka senang dilihat hebat. Saat mereka tidak mampu melakukan sesuatu akan menyalahkan orang lain (reaktif). Mereka tidak mau mengakui kesalahannya. Mereka punya kecendrungan artibusi eksternal.
Munculnya artibusi eksternal sehingga menjadi reaktif dan tidak mau menerima kekalahan karena sejak muda mereka terlalu banyak dan cepat memperoleh kemudahan dan pujian.
Sang bintang di dunia kerja justru berasal dari murid yang dulu nilainya biasa biasa saja tuh? Tapi sang bintang adalah orang yang tidak pernah berhenti belajar. Bukan sekedar belajar hapalan (kuat pada sisi mind memory) tapi juga kuat dari sisi muscle memory. Sang bintang adalah mereka yang berjuang. Yang memperoleh sesuatu tidak cepat dan mudah. Yang tidak terperangkap dalam fix mindset dan atribusi eksternal. Mereka yang hebat adalah fokus pada growth mindset.
Gladwell mengatakan bahwa penerima hadiah nobel bukanlah dari golongan yang pernah mendapat IQ tinggi.
Orang yang sukses dan berhasil di lapangan adalah mereka yang berdedikasi tinggi, tangguh, disiplin diri, memiliki growth mindset dan low self monitor.
Rhenald Kasali kuatir dengan cara didik orang tua masa kini. Yang memudahkan anak, terlalu melindungi anak. Reaksi orang tua pada hedonisme begitu ekstrem. Di satu sisi sang anak diproteksi dan dikekang begitu ketat pada agama, dogma dan sekolah sehingga melahirkan anak anak alim yang konservatif. Rhenald Kasali mengutip Corriveau , Chen dan Harris mengatakan bahwa anak anak yang didik dengan model seperti di atas akan melahirkan anak anak yang kesulitan membedakan fakta dan fiksi. Di satu sisi sang anak diberi materi dan servis tanpa batas juga melahirkan anak anak yang liberal.
Kembali ke dunia pencari kerja. Ketika tidak mudah memasuki dunia lapangan kerja kita bisa menciptakan lapangan kerja. Merubah mind set. Jangan melihat bahwa bekerja itu enak dan mendapat gaji besar. Semua butuh proses. Cobalah mulai dari cara pandang baru. Segalanya butuh proses, ketekunan, pengorbanan, kerja keras dan disiplin.
Jangan terjebak dalam cara pandang lama yang melihat bahwa segala sesuatu bisa dengan mudah dibeli. Jangan pernah terjabak dalam pikiran mencari pekerjaa dapat diatasi (mudah dan cepat) dengan membeli. Membeli pekerjaan alis nyogok adalah tindakan yang berdosa dan merusak mind set.
Sudak waktunya kita merubah mindset atau cara pandang. Segala hal yang diperoleh dengan halal, kerja keras, disiplin, pengorbanan akan membentuk kita menjadi pemenang.
Saran bagi pencari kerja, ketika anda tidak lolos proses rekrutmen di perusahaan atau penerimaan pegawai negeri di pemerintahan jangan menganggap diri anda bodoh dan gagal. Jangan memberi lebel pada diri anda tidak beruntung, lalu menyalahkan perusahaan, pemerintah, menyalahkan pendidikan. Karena sesungguhnya tidak ada orang yang gagal. Yang ada adalah berhenti berusaha.
Lalu kemana setelah menamatkan bangku kuliah. Andalah yang menentukan. Bila anda ingin memasuki dunia kerja. sebaiknya ikuti proses alami. Hindari membeli pekerjaan. Sekali lagi hindari proses instant. Tempuhlah cara cara yang sportif. Bila belum diterima bekerja sebaiknya tambahkan kompetensi. Kini tersedia cukup banyak lembaga pelatihan yang mengajarkan kompetensi. Mengambil kompetensi seperti Keselamatan Kerja bisa jadi modal tambahan untuk mendapatkan pekerjaan. Perusahaan pasti lebih senang merekrut calon karyawan yang memiliki kompetensi namun juga sudah memiliki growth mindset dan low self monitor. Change.