Saat ini buruh di Batam lagi protes berhubungan pemberitakan mengenai perusahaan yang hengkang dari Batam. Perusahaan dikatakan meninggalkan Pulau Batam karena demo buruh. Ekspatriat takut dengan demo buruh. Salah satu perusahaan yang diberitakan hengkang adalah PT Seagate. Inilah yang jadi masalah karena PT ini yang dulunya beroperasi di Kawasan Industri Batamindo adalah perusahaan yang sudah lama tutup sebelum maraknya demo Serikat Pekerja. Media yang memuat pernyataan pengusaha mengenai maraknya demo di Batam yang mengakibatkan perusahaan hengkang adalah Detik.
Buruh di Batam pun protes. Sosial Media (Facebook) menjadi media protes yang dilakukan oleh buruh. Wajar mereka tak terima karena buruh adalah pelaku sejarah. Seperti pernyataan mantan karyawan Seagate. Bernama Dedi Suryadi karyawan PT Seagate dari 1996 hingga 2001. Dedi tahu sejarah karena ia ikut peralihan PT Seagate lalu dijual menjadi PT Beyonics. PT Seagate fokus pada R&D.
Kalau dulu jaman orde baru kekebasan buruh di bungkam. Tahun 2000 UU No. 21 Serikat Pekerja disahkan. Sejak tahun 2001 kita lihat perjalanan Serikat Pekerja dan Serikat Buruh. Seiring Undang Undang 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja di berlakukan setelah itu berdiri jugalah Perikat Pekerja atau Serikat Buruh. Demo karyawan di Muka Kuning menurut pengamatan penulis baru mulai marak pada tahun 2001. Aksi demo di Kawasan Industri Batamindo sesungguhnya sudah terjadi sejak tahun 2001. Demo menyangkut tuntutan normatif dan non normatif.
Saat itu PT Seagate berubah menjadi PT Beyonics. Jadi perlu diluruskan bahwa Serikat Pekerja dan Serikat Buruh mulai unjuk gigi justru pada tahun 2001. Di lain pihak pihak pengusaha juga perlu mengecek sejarah karena PT Seagate adalah perusahaan yang tutup lama namun dijadikan contoh perusahaan yang tutup pada saat ini (2015) karena maraknya aksi demo buruh.
Ya, PT Seagate udah lama tutup tak elok lah rasanya kalau dijadikan contoh soal oleh pengusaha. Pengusaha mengatakan, kini (2015) beberapa perusahaan hengkang ke luar negeri karena maraknya aksi demo karyawan. Artinya pengusaha tak mengecek data akurat tentang perusahaan yang benar-benar tutup karena aksi demo pekerja. Wartawan Detik juga tidak mengindahkan kode etik jurnalitik. Sang wartawan harusnya mematuhi prinsip cek and re-cek.
Wartawan, Buruh dan Pengusaha perlu berbicara dengan data. Tidak sekedar berbicara. Kesalahan data menyebabkan pengambilan keputusan menjadi bias. Pengusaha, Pemerintah, Pengusaha dan Buruh perlu duduk bersama melakukan penelitian bersama. Tidak bisa berdiri sendiri sendiri dan hanya mengandalakan perasaan. Data harus berbicara. Setahu saya perusahaan yang tutup penyebabnya beragam.
Yang paling disayangkan adalah pihak Detik yang tidak melakukan pengecekan data di lapangan. Sekadar wawancara saja bukan jaminan. Hal hal yang sifatnya pertentangan dan sensitif seharusnya disikapi dengan hati hati. Wartawan yang bekerja di kejar dead line memang ingin tampil terdepan dan paling pertama dalam pemberitaan. Namun alangkah sia sianya bila berita yang dihasilkan hanyalah sampah.