Rini Widyawati seorang pelukis. Dia dalah sosok wanita yang kukagumi selain Istriku. Rini kini bekerja magang sebagai staf di perusahaan manufacturing. Dia ingin menambah wawasan di dunia industri. Rini wanita cantik yang selalu membuat suasana kantor jadi hidup. Ia ceria, murah senyum, ramah sama customer. Gesit. Kalau jalan seperti roket. Cepat sekali.
Pandangan Rini kalau berjalan lebih banyak ke bawah ke arah keramik . Karena pengaruh sepatu hak tinggi, gaya jalan Rini mirip Soimah. Ha ha ha.
Semua orang suka sama Rini. Atasan dia, teman kerja hingga customer. Di hari sabtu dan minggu ia suka menemani saya melukis. Tepatnya membimbing saya melukis. Saya sejak dulu sangat pingin melukis seperti Basuki Abdullah. Basuki Abdullah Pelukis hebat tanah air. Sebagai pembimbing saya melukis, Rini lagi lagi kelihatan sinarnya. Ia sabar dan pandai memberi dorongan kepada saya ketika mengalami kesulitan memadukan warna. Ah Rini.
Aku selalu betah berada di sampingmu. Kadang saya suka menggodanya mencubit pipinya yang putih kemerahan. Rini jarang marah. Lama kemudian Rini melototkan matanya sambil berkata, “Nggak boleh Bram, belajar melukisnya nanti gagal.” Kalau Rini sudah melotot kembali saya memainkan kuas dan cat di atas kanvas. Oh asiknya dibimbing melukis teman kerja yang cantik.
Tadinya saya tak begitu suka dengan melukis. Tapi saya kagum dengan karya lukisan. Saat melihat lukisan yang dipajang di hotel saya suka berlama lama mengamati arti dan makna lukisan tersebut. Lukisan memang sungguh menarik. Lukisan lahir dari rasa sang pelukis.
Garis dan warna yang dituangkan di atas kanvas selalu penuh arti. Ya sebuah karya yang didasari dengan rasa selalu menarik. Ada kekuatan yang muncul karenanya.
Tak heran kini lukisan menjadi barang investasi yang mahal. Harga lukisan kini ada yang bernilai hingga 900 miliar rupiah. Wow.
Tak terasa kini Rini berstatus karyawan permanen. Ketika masih magang saya adalah teman yang paling sering jalan bersama. Setiap makan siang pasti berdua. Sarapan pagi juga begitu. Dimana ada saya disitu ada Rini. Seperti perangko. Lengket ke mana mana. Karena sering bareng itulah akhirnya saya tahu kalau Rini jago gambar. Makanya saya langsung dekati dia. Memberi perhatian. Membelikan makanan kecil. Berikan coklat yang diam diam saya masukkan ke dalam laci mejanya. Setelah itu. Ada coklat ya nemani dirimu bekerja, kataku di telpon.
Ah Rini gadis cantik yang jago melukis. Entah kenapa diam- diam timbul rasa kagum padanya. Pertama, karena ia cerdas, jago melukis, tekun beribadah, dan memiliki wajah yang cantik. Groomingnya mantap. Kala pagi jam delapan saat Rini tiba di kantor , aku suka perhatikan kesibukan kecilnya. Rini mengambil tas lalu menghilang ke toilet. Lima menit ia di sana. Merias diri. Lalu balik ke meja kerja dengan wajah cerah, rambut yang rapi, bibir tipisnya pun diolesi lispstik yang berwarna merah muda. Aroma badannya pun wangi. Wow cantik sekali. Begitu Rini duduk di mejanya aku dekati lalu mengajak sarapan di pantri. Rini pun tersenyum lalu beranjak ke pantri. Menyantap sarapan pagi yang telah kupesankan dari kantin kantor.
Usai sarapan kami kembali ke meja masing masing mengerjakan tugas yang sudah menumpuk.
Rini menyadari kalau aku baik padanya. Ia pun merespon. Ia dengan senang hati mengajariku melukis. Sudah enam bulan berlalu. Sudah enam lukisan yang aku kerjakan berkat bimbingan Rini. Aku akhirnya paham jenis jenis alat melukis yang harus kugunakan. Awalnya saya hanya diajari membuat sketsa. Alat mengambar yang kupakai kertas dan pensil. Lalu beranjak ke media yang lebih bervariasi. Aku dikenalkan pada berbagai material lain. Lama lama akrab dengan pinsil konte, serbuk pinsil, pinsil mesin, cat air, cat acrylic dan cat minyak. Aku jadi mengerti berbagai jenis kuas, pisau palet. Untuk melahirkan karya bagus ternyata ditunjang dengan alat yang berkualitas.
Bahan yang berkualitas harganya juga mahal. Satu cat minyak merek Winton yang berukuran 200 ml harganya tembus 160.000 rupiah di pasar on line. Kalau pakai cat minyak yang lebih berkelas harganya juga lebih mahal. Pantas saja banyak pelukis yang senang bila memiliki material melukis yang berkualitas.
Membuat sebuah lukisan berukuran 100 cm kali 80 cm butuh pengeluaran yang lumayan. Kanvas ukuran 80cm kali 100cm harga di toko Stationary berharga 200 ribu rupiah. Nah kalau cat minyak menggunakan sepuluh warna maka modal yang dikeluarkan sudah di atas satu juta.
Meski mahal saya tak keberatan. Saya suka dengan seni lukis dan memiliki pembimbing cantik, Rini. Sang pembimbing bagai matahari. Ia memberi energi kekuatan. Memberikan semangat. Apalagi kalau sudah tersenyum. Memamerkan deretan giginya yang putih. Dia begitu menawan. Betah aku belajar melukis. Ha ha ha.
Waktu berlalu begitu cepat. Rini dipindahkan ke bagian lain. Kebersamaan yang selama ini selalu kunikmati di kantor berakhir. Tak ada lagi jalan bareng, tak ada lagi sarapan pagi bersama, tak ada lagi makan siang bersama.
Setelah satu bulan. Terasa ada yang hilang. Aku mencoba menghubungi melalui telpon. Telpon tak diangkat. SMS dikirim juga tak di balas. WA di kirim juga tak di balas. Inbox di Facebook juga tak ditanggapi. Ada apa gerangan. Penasaran. Aku datangi kantornya. Rini menjawab, “Bram kita tidak bisa seperti dulu lagi. Sekarang aku sibuk. Terkadang hand phone aku charge dan tertinggal di laci meja. Maafkan aku Bram.”
Aku tak menyangka jawaban Rini mengalir begitu saja tanpa beban. Kuharap ia merindukanku dan bergembira atas kunjunganku. Namun ia seolah tak senang dengan kehadiranku. Ok, baik kalau kehadiranku menganggu aku pergi, kataku.
Aku tak bisa tidur. Rini menganggu pikiranku. Sudah seminggu aku kesulitan tidur malam. Rata rata baru bisa tertidur pada pukul 2 atau 3 pagi. Di kantor kurang fokus. Saat mengerjalan laporan bayangan Rini menari di layar laptop. Hmm. Kok jadi begini. Aku jadi takut kehilangan. Padahal aku lagi getol getolnya membuat lukisan untuk pameran. Aku butuh masukan dan dorongan Rini. Sebagai sahabat di kantor dan di studio lukis Rini sangat berarti bagiku. Tapi ia berubah.
Meski Rini bukan istriku atau pacarku namun ia adalah sahabat yang kuandalkan. Aku masih ingat saat pertama kali berbicara di kantin perusahaan usai jam kerja. Waktu itu hujan. Sambil menunggu reda. Aku traktir Rini makan bakso. Ia menerima tawaran. Kalau lagi makan bakso ia makan hanya setengah sisanya aku yang habiskan. Waktu itu Rini baru bergabung bekerja selama satu bulan. Aku katakan ke Rini kalau aku senang bersahabat dengannya. Aku ceritakan tentang istri dan anak anaku. Tidak ada yang kututupi. Aku berjanji akan menjadi sahabat yang terbaik bagi Rini. Melindungi Rini. Rini mengangguk setuju. Ia tersenyum memamerkan deretan giginya yang putih. Aku bahkan bercanda ke Rini, seandainya aku bujangan aku akan datang ke orang tuamu untuk melamar. Karena kau adalah wanita yang sempurna. Rini lagi lagi tersenyum manis. Sampai akhirnya hujan reda. Kami pun pulang ke rumah masing masing.
Di satu sisi saya juga menceritakan tentang sahabatku ke istri. Sampai akhirnya Istriku dan Rini berkenalan. Istriku percaya pada Rini.
Begitu banyak kenangan bersama Rini. Masa masa indah persahabatan itu berlalu begitu cepat. Seolah kapas yang disapu tiupan angin kencang. Hilang tanpa bekas.
Kemarin hari selasa minggu kedua April setelah sekian lama tidak menelpon. Aku teringat Rini. Aku telpon ke hand phonenya. Ia tak merespon. Aku bingung. Ada apa gerangan. Kenapa ia bersikap seperti itu. Kenapa ia menjauh. Kenapa ia tidak mengangkat telpon saat ku hubungi. Jauh berbeda dibanding awal bergabung di perusahaan.
Aku tak nyaman dengan kondisi ini. Kembali kuambil handphone. Kutekan nomor dia sekali lagi mengharap ada jawaban. Rini mengangkat telponnya.
“Halo selamat siang Rin.”
“Ya apa kabar Bram,” jawab Rini.
“Rini tak marah kan padaku, aku call tapi tak direspon, sms tak dijawab, inbox tak direspon. Pls ditanggapi dong pertanyaanku.”
“Maaf aku sibuk banget. Aku tak ada waktu untuk santai.” Kata Rini.
“Kuajak makan bareng, kau bilang panas. Cuaca Batam kurang bersahabat lah. Beberapa minggu lalu kuajak Karaoke bareng teman teman juga tak mau karena sibuk dengan urusan domestik di rumah menemani ponakan. Rin! Sesungguhnya aku tahu kok kalau dirimu tidak sibuk. Aku tahu kalau dirimu pergi dengan sahabat barumu saat pulang kerja lalu berkaraoke ria di Inul Vista dengan mereka. Rin! aku juga tahu kok kalau saat makan siang kau jalan dengan si Konsultan itu kan. Well, no problem itu hak mu Rin. Tapi sebagai sahabat aku tak mau dibohongi. Ya aku sadar bila Rini bukan istriku atau pacarku. Aku takut kehilangan dirimu Rin. Kau adalah matahariku yang mampu memberikan semangat untuk berkarya. Pls jangan tinggalkan aku. Aku takut kehilangan dirimu.”
“Bram, terima kasih atas kebaikanmu. Kau memang baik,” jawab Rini.
“Nanti pulang kerja kita ketemu di kantor perusahaan ya. Aku mau ngobrol tentang rencana pameran,” Ajak Baram
Rini menyanggupi.
Telpon di matikan.
Bram kembali meneruskan pekerjaan kantor. Hatinya lega. Kali ini ia mendapat respon dari sahabatnya yang sudah mulai menjauh.
Bram merasa waktu begitu lama. Bram ingin cepat cepat jarum jam di pergelangan tangannya menunjukkan angka lima. Bram ingin segera bertemu dengan Rini.
Pukul lima sore. Cuaca panas masih terasa. Bram milirk jam di lengan tangannya. Lalu mengambil handphone dari tas. Menelpon Rini. Rini mengangkat telpon. Namun kali ini Rini meminta maaf karena ia masih berada di luar kantor setelah visit marketing, saat balik kantor terjebak di lampu merah. Rini menjadwal ulang pertemuan dengan Bram. Rini mengajukan agar pertemuan pada hari Kamis saja. Bram mengiyakan meski kecewa.
******
Kamis minggu kedua April. Bram seolah tak sabar. Usai makan siang dia menghubungi Rini di kantornya. Bram mendatangi kantor Rini. Bram harus menunggu setengah jam. Ternyata Rini memang super sibuk. Pantas ia selalu tidak merespon saat kutelpon, pikir dalam hati Bram.
Bram ingin memastikan pertemuan dengan Rini pada hari kamis sore usai jam kerja. Bisa kan hari ini kita ngobrol di kantin perusahaan,” harap Bram kepada Rini. Rini tak mengangguk. Rini menggeleng, Dengan ekspresi datar dan seolah tak mau diganggu Rini membatalkan pertemuan dengan Bram. “Sorry , hari ini ada mau makan malam dengan pimpinan. Pimpinan ulang tahun.”
Rini pergi begitu saja. Ia bergabung dengan teman kerjanya sambil jalan tergesa gesa. Bram tersentak. Muka Bram terasa panas. Bram memutar badan. Bram kembali ke kantornya.
Kehilangan semangat. Hati Bram tertusuk. Ia tidak menyelesaikan tugas kantor. Ia ijin pulang awal.
Tak enak badan.
Esoknya kondisi badan Bram kembali drop. Usai dari sholat jumat ia memilih tidur untuk memulihkan tenaga. Bram merasa bodoh. Bram merasa konyol di jauhi teman temannya. Bram kecewa berat. Bram kecewa berat karena Rini malah bergabung dengan para konsultan yang pernah membully dan merendahkan Bram. Bram berusaha meghirup nafas. Mengalirkan oskigen ke otak.
Usai bangun tidur. Bram mencoba untuk rileks. Bram mengambil kertas. Membuat sebuah sketsa tentang lelaki yang penuh tenaga mematahkan rantai besi setelah disinari kekuatan dari dua matahi. Ya dua matahari membuat Bram menjadi kuat dan energik. Dua matahari itu adalah simbol dari Sang Istari dan Rini Sang Sahabat.
Setelah menggambar dua matahari. Bram merasa lega dan sedikit rileks. Bram tahu bahwa melukis bisa menjadi terapi untuk melepaskan ketegangan. Dengan melukis otak kanan akan aktif. Saat otak kanan aktif akan mengeluarkan hormon bahagaia yang disebut endorfin.
Tak lama kemudian Bram mulai tersenyum. Lalu ia mengambil kertas yang ia sudah lukis. Lalu merobek sebagian kertas tersebut. Gambar yang awalnya terdiri dari dua matahari kini tinggal satu. Satu matahari sinarnya jauh lebih hangat. Jauh lebih powerful. Satu matahari adalah simbol dari istri Bram.
Bram mengambil sebuah foto yang berbingkai. Sambil meraba wajah foto istrinya Bram berkata, “Kaulah Matahariku.”
Batam, pukul 01.00 tanggal 9 April 2016.
MR. Pelukis , Cerpenis.