Sejak kau melepaskan genggaman tanganku yang kokoh. Kau melotot tajam. Wajahmu tampak sinis padaku. Kau seolah jijik berada di sampingku. Pandanganmu menakutkan. Sebuah pandangan tajam yang seolah menembus jantung. Kau mengirim pesan padaku, hentikan ini semua tolol. Pria tak berguna, jauh lah dariku. Hentikan genggaman tangan ini. Hentikan pertemanan tolol ini. Menyebalkan tau.
Aku mengalah. Ku lepas genggamam tanganku dari jari tanganmu yang lembut. Ku tak ingin Singa betina di depanku menatapku tajam seolah hendak menerkam mangsanya. Ku tak ingin melihat aura kemarahan dimuntahkan dari tubuhmu karena aku. Ya aku , murid bandel yang mencintai pembimbingnya.
Murid yang menyukai sang Pembimbing yang bernama Rini Widyawati. Saat kau mengajariku melukis kau bagai putri salju yang lembut dan penuh kasih sayang. Tapi ketika kucoba untuk menjalin keakraban dengan memegang jemari tanganmu. Kau seperti orang lain yang tidak kukenal.
Aku gagal untuk menarik perhatianmu. Aku tak berhasil meyakinkan dirimu bahwa aku adalah lelaki terpantas melindungi dan menjadi pahlawanmu. Aku gagal paham dan juga gagal fokus. Aku semakin merasa gagal untuk menjadi sahabat terbaikmu ketika kulihat dengan mata sendiri begitu akrabnya kamu dengan teman teman lelakimu. Aku bukan siapa siapa. Empat tahun pertemanan bukan jaminan membuat dirimu sayang padaku. Empat tahun ku coba untuk belajar, mengerti dan menata hati. Berharap kau memikirkan diriku. Berharap kau merindukan diriku.
Ternyata tidak ada perubahan berarti. Justru perhatianmu makin berkurang. Kepedulianmu makin menipis.
Tawamu, waktumu, energimu kini berpindah ke sahabat sahabat barumu. Itu alasan tepat untuk mengalihkan perhatianku padamu. Ku membatin, mengapa ku harus menemui dia lagi kalau dia tak peduli dan memikirkanku. Hm, saatnya untuk menyibukkan diri.
Aku terlalu sibuk. Belakangan tak ada waktu untuk bertemu denganmu. Meskipun menyapa melalui BBM, Whats Up, In box di saat aku kangen padamu. Aku harus belajar fokus. Perhatianku hanya pada pekerjaan, membaca dan berlatih menarik garis, warna dan bentuk. Aku tak mau dirimu terganggu di kantor dengan bertanya teknik melukis seperti hari hari sebelumnya. Meski dulu kau selalu mengatakan kapan saja bisa bertanya mengenai teknik melukis. Sudah berlalu. End.
Entah kenapa Aku pun menikmati kesendirian ini. Berbagai literatur mengenai seni lukis kulahap habis. Banyak sumber data dan informasi yang disajikan Mbah google mengenai dunia lukis. Mbah Google memang keren bisik saya dalam hati. Dia bisa memberikan jutaan informasi tentang seni lukis. Mulai dari artikel, berita, foto hingga video tutorial mengenai seni lukis.
Saya pikir tak ada salahnya berguru secara on line pada Mbah Google. Makanya hari hariku kuhabiskan untuk membaca dan menyaksikan youtube. Pengetahuanku tentang seni lukis lumayan bagus dibanding masa belum ada internet.
Dulu saya hanya mengandalkan ruang pameran lukisan untuk belajar secara visual. Tanpa ada pembimbing, mentor, atau guru seni lukis. Semua kulakukan dengan belajar otodidak. Dulu saya beranggapan kalau lukisan yang bagus itu adalah lukisan yang menyerupai obyek seratus persen. Namun belakangan paradigma itu bergeser. Lukisan bagus tidak hanya dinilai dari kecantikan visual. Yang mirip obyek. Bagikan karya fotografi. Bukan itu. Namun lukisan yang menarik justru yang mengandung nilai. Nah kebanyakan lukisan yang masuk kategori mahal dan dicari para kolektor berpengaruh justru lukisan yang terkesan biasa saja bagi masyarakat awam.
Coba perhatikan lukisan termahal dunia.
Lukisan tahun 1953 ini merupakan karya Willem De Kooning. Sebenarnya lukisan ini merupakan bagian dari serangkaian yang melibatkan enam lukisan berbeda. Lukisan ini bergaya abstrak ekspresionis dari Klooning dan memiliki ukuran 68 x 48,5 inci. Pada tahun 2000, lukisan karya Willem ini dijual oleh David Geffen kepada seorang miliarder, Steven A. Cohen. Harga: US$ 140 juta atau Rp 1,62 triliun
Lukisan paling mahal di dunia ini diciptakan oleh pelukis asal Perancis bernama Paul Cezanne. Alasan yang paling utama kenapa lukisan ini dijual dengan harga yang sangat mahal karena detail halus dan intensitas warna yang bagus. Lukisan ini merupakan lukisan terakhir dari 5 lukisan Cezanne yang sedang menggambarkan seorang pemain kartu. Pada tahun 2011, keluarga kerajaan Qatar membeli lukisan ini dalam sebuah lelang. Harga: US$ 254 juta atau Rp 2,95 triliun
Harga: US$ 137,5 juta atau Rp 1,6 triliun. Lukisan tahun 1953 ini merupakan karya Willem De Kooning. Sebenarnya lukisan ini merupakan bagian dari serangkaian yang melibatkan enam lukisan berbeda. Lukisan ini bergaya abstrak ekspresionis dari Klooning dan memiliki ukuran 68 x 48,5 inci. Pada tahun 2000, lukisan karya Willem ini dijual oleh David Geffen kepada seorang miliarder, Steven A. Cohen.
Setiap mempelajari artikel seni rupa endorfinku selalu meluap. Aha aku bersyukur menemukan dunia yang menantang. Dunia seni rupa selalu membuatku terpesona. Saya merasa tak membutuhkan lagi pembimbing cantik dalam melukis. Toh Internet bisa kok menggantikan peranmu. Ku bercoba berdamai dengan batinku yang sebetulnya kubohongi. Karena sesungguhnya aku benar benar tak bisa melupakan sosok pembimbing yang berwajah manis. Keindahan Rini sudah menjalar di seluruh sel tubuhku.
Ya kuakui dulu awal pertama belajar melukis aku sangat kesulitan untuk memulai menarik garis dan mencampur cat di atas kanvas. Berkat kesabarnmu membimbing aku akhirnya mulai bisa melukis meski hasilnya sederhana. Berkat sentuhan dan totalitasmu melatih diriku menjadi pelukis akhirnya aku bisa. Aku tak hanya kagum dengan caramu membimbing diriku namun aku juga mulai merasakan kekaguman terhadap kecantikan alami yang kau punyai. Sungguh mempesona. Punya pembimbing yang jago menularkan ilmu melukis namun juga memiliki kecantikan bagai bidadari.
Kita jadi kompak. Makan bersama, diskusi bersama. Bagai perangko dan surat. Nempel.
Sayang, seiring perjalanan waktu kau makin sibuk. Saya maklum, karena posisimu yang tak bisa seperti dulu lagi. Waktumu makin padat dengan rutinitas pekerjaan yang seolah tak pernah berhenti. Pekerjaan kantor, kegiatan organisasi yang kian padat. Kau mulai malas bertemu dan menemui aku. Mulai malas memberiku masukan. Mulai tak care lagi padaku.
Aku maklum. Aku harus mengerti. Sejak kedatangan Mas Angga di kantor kita. Perlahan lahan kau menjahuiku. Kini kau lebih suka jalan bareng dengan mereka. Makan siang dengan mereka. Sarapan pagi dengan mereka. Berboncengan motor saat ke mesin ATM. Saya jadi mengerti siapa diri saya di matamu. Seharusnya aku harus sadar Kau adalah pembimbing terbaiku dalam mengajariku melukis. Ya hanya sebatas itu. Tak lebih. Saya tak punya hak untuk menyentuh rasa di hatimu. Itu adalah pantangan. Seharusnya prinsip itu kujaga baik baik. Seperti janji awal saat aku memintamu mengajariku melukis. Kita hanya teman dalam berbagi ilmu.
Meski di mulut selalu kukatakan bahwa hubungan kita hanya sebatas sahabat atau murid dan pembimbing. Namun di dalam hati aku diam diam merindukanmu. Ku ta kuasa melupakan kebaikan hatimu. Tak bisa memblok kelembutanmu. Senyum mu selalu membuat hatiku damai. Kau wanita terindah yang pernah kutemui. Kau adalah Wanita yang memiliki sejuta keindahan. Sejatinya aku tak mau jauh darimu. Tapi di mulut ku selalu berkata bohong. Aku selalu berdusta bahwa kau bukan siapa siapa aku. Padahal Hatiku sangat merindukanmu.
Kau makin akrab dengan anak baru itu. Angga memang tampan, tinggi. Mungkin itu yang menarik dari Angga. Bukan hanya dengan Angga kau terlihat kompak. Kamu akrab dengan beberapa eksekutif di kantor. Makan bersama dan having van bersama sama.
Buatku sudah berakhir. Tak ada say hello, tak ada tanya kabar, tak ada atensi, tak ada lagi. Tiba tiba hilang kontak. Kalau aku berkunjung ke ruang kerjamu, selalu mendapati meja yang kosong. Dan kawan kawanmu mengatakan oh si Cantik sedang visit customer. Kalau tidak visit kawanmu mengatakan, Oh si Cantik sedang berada di ruangan Angga.
Akhirnya aku sadar. Kau sangat enjoy dengan sahabat barumu. Teman main baru. Teman jalan yang baru. Having Fun setelah pulang bekerja. Duniamu kian berwarna. Beda denganku duniaku menjadi abu abu.
Inilah jawaban kenapa selalu menolak ajakanku. Kau punya jawaban ampuh itu. Aku sibuk. Maaf tidak bisa seperti dulu lagi.
Pantes tak bisa seperti dulu lagi. Karena kamu memilih dia. Sahabat barumu.
Kecewa, sedih, merasa tidak berati. Tapi ku tak mau berlama lama dalam kondisi menyebalkan ini. Baper sungguh menyiksaku. Ku coba move on. Terlalu sempit dunia ini bila larut dalam kekecewaan. Kukepalkan tanganku kuat. Untuk melawan rasa perih ini. Ternyata tak sanggup. Berminggu minggu saya merasa sakit. Merasa di buang. Dilupakan.
Aku jadi malas ngantor. Kucoba untuk tidak berjumpa denganmu. Aku tak sanggup melihat dirimu tertawa riang bersama sahabat sahabat barumu. Aku mencoba untuk menghilang. Namun rasa kangen yang begitu kuat tak bisa menghalangiku untuk mengintip Facebook kamu. Aku melihat foto fotomu begitu bahagia. Bahagia dengan sahabat sahabat barumu. Kau memang gadis yang menawan. Bagai magnit. Pantas saja para lelaki berlomba lomba untuk menjadikanmu teman istimewa.
Kucoba untuk melarikan pikiran ini dari wajah manismu. Kucoba untuk memindahkan konsentrasiku ke halaman halaman buku yang kubaca. Tapi saya selalu gagal. Senyummu lagi lagi hadir di setiap halaman buku yang kubaca. Saat menjelang tidur, senyummu selalu hadir di sana, saat tertidur dirimu selalu hadir dalam mimpi mimpiku. Kau selalu ada dalam bayangku, kau selalu hadir dalam jiwaku. Semakin kuat untuk melupakan semakin kuat kehadiran bayangmu.
Kau telah mencuri hatiku. Di saat aku terlanjur sayang kau pun pergi dengan teman teman akrabmu. Teman teman barumu.
Berbagai cara kulakukan untuk melupakanmu. Setiap pulang bekerja aku mengisi waktu luangku mengunjungi toko buku gramedia. Toko buku ini begitu pandai menarik perhatianku. Berbagai buku bagus pun kukoleksi dan menjadi sahabat penggantimu. Jadi akrab dengan SPG di toko ini. Petugas SPG rajin menghubungiku. Memberitahukan tentang buku baru dan menarik.
Aku bisa fokus dengan isi materi buku yang kubaca. Dan perlahan lahan aku mencoba untuk berdamai dengan diriku. Aku harus melawan perasaanku bahwa kehadiranmu adalah buat seorang lelaki istimewa di luar sana. Aku belajar menerima bahwa dirimu adalah milik lelaki spesial. Hanya kau yang memutuskan. Hanya dirimu yang berhak menentukan. Saya tidak punya hak untuk mengikat hatimu. Aku tak punya hak untuk mengatur hidupmu. Kau punya kebebasan untuk memutuskan. Kau benar. Kau sebaiknya melupakan aku. Saya hadir di sisimu bukan sebagai orang istimewa. Saya pelengkap saat kau bosan, saat kosong, saat tak mendapat perhatian dari pria spesialmu. Saya adalah ban serepmu. Hmm.
Waktu berlalu. Aku makin fokus pada tugas kantor. Saya bersukur tugas yang diberikan kantor mampu kunikmati. Waktuku kugunakan untuk menangani proyek yang dibebankan padaku. Ternyata dengan total dalam pekerjaan aku bisa mengalihkan perhatianku darimu.
Saat berada di Kantor utama. Saya bersyukur bisa fokus dengan pekerjaan . Mampu berkonsentrasi dengan pekerjaan. Tak lagi seperti dulu. Mendatangi ruang kerjamu sambil bercanda denganmu. Saat berpapasan pun kucoba untuk diam dan tak bertegur sapa. Kupikir ini yang kau harapkan. Kupikir ini yang kau inginkan. Kau akan bebas ketika aku tak lagi dekat denganmu. Kau puas dan bersyukur terlepas dari candaku. Kau merdeka lepas dari perhatianku. Ya itulah harapanmu, lepas dari sosok Bram.
Sehingga tak ada lagi teman teman kantor yang bisik bisik saat kita bercanda. Tak ada lagi gosip murahan tentang kita. Tak ada lagi trending topik tentang kita berdua. Itu yang kau harapkan kan, Rin. Batinku berkata. Ya saya sadari kondisi tersebut. Aku akan berbuat agar segala gosip dan cerita murahan tentang hubungan kita akan hilang dan tidak lagi laku di mata teman teman.
Hari Rabu di kantor utama, saat berpapasan dengan Office Girl, membisikan sesuatu padaku. “Bram, Kata si Cantik Kamu telah berubah, tidak care,” kata si pelayan padaku. Aku tak percaya. Tumben dalam hatiku. Bukannya dia sudah tak membutuhkanku lagi. Bukannya dia sudah punya sahabat sahabat baru. Bukannya dia sudah punya lelaki istimewa. Aku membatin.
Beberapa hari berikutnya setiap berkunjung ke kantor Rini, ku berusaha tidak bertemu dengannya. Kalaupun berpapasan aku menunduk dan memandangi lantai kantor. Rini pun begitu seolah tak peduli lagi pada ku.
Minggu berikutnya, masih di hari Jumat. Kejadian itu Menjelang sholat jumat, saya bergegas ke masjid. Aku berpapasan dengan Rini di depan resepsionis. Dia melihat dengan tatapan aneh. Aku berusaha tenang. Aku tak menegurnya sama sekali. Aku hanya ingin pergi sholat jumat.
Usai sholat jumat saat kembali bertemu di depan Resepsionis. Rini menegurku. Dengan nada agak tinggi, “ Bram kenalkan aku Rini Setyawati. Masih kenal aku kan! Aku ada di sini.” Rini menunjuk tempat ia berdiri.
Aku tersentak. Mengangkat wajah. Menatap wajah Rini. Kutatap bola matanya yang indah. Aku pun tak bisa berkata kata. Hanya mengangguk tanda mengerti. Batinku lalu berteriak, Ya Allah Rini adalah wanita yang sangat baik. Dia masih menganggapku sebagai teman, sahabat. Terima kasih ya Allah. Rini ternyata tidak berubah. Dia Riniku seperti yang dulu. Aku salah persepsi tentangnya.
Aku akan selalu menjagamu Rini. Kugenggam jemari tanganya yang lembut. Di luar gedung hujan gerimis pun turun dengan indahnya. Seindah hatiku. Dari sorot mata Rini terpancar sebuah pesan, “Jangan melukai persahabat kita.”