Kini alat komunikasi Hand Phone jadi kebutuhan utama. Mengalahkan sandang, pangan dan papan. Seandainya Abraham Maslow masih hidup bisa jadi Teori Hirarki Motivasi Maslow tidak hanya memasukkan unsur sandang pangan dan papan pada kebutuhan paling utama manusia, tapi juga ditambah Gadget untuk update status. Coba uji, bila dalam satu hari saja tidak membawa HP rasanya seperti ada yang kurang. Sahabat saya panik ketika sampai ke kantor karena tidak membawa HP. Setelah di cari di saku celana, tas kerja dan di laci HP nya tak jumpa. Ia stress karena tidak bisa bekerja. Akhirnya ia balik ke rumah lagi mengambil HP nya yang tertinggal. Waktu untuk bekerja hilang dua jam.
HP sudah jadi kebutuhan utama. Di dalam HP terdapat data penting, mulai aplikasi untuk pemesanan tiket, aplikasi pemesanan transportasi (Gojek, Uber, Grab), aplikasi untuk pembelian online, aplikasi untuk transaksi keuangan. HP tidak lagi menjadi alat komunikasi semata. Hampir segala kebutuhan manusia dialihkan ke aplikasi. Mudah dan cepat. Makanya ketika si HP tertinggal atau hilang alangkah pusingnya sang pemilik HP.
Seiring dengan makin maju dan murahnya HP, diikuti dengan bertumbuhnya penggunaan sosial media. Gadget dan aplikasi telah memberikan dan menawarkan aneka pilihan yang bisa di download secara gratis dan mudah. Berbagai aplikasi menjadi mainan anak muda generasi Hipster dan Yuccies.
Sosial media seperti FB, Instagram, Twitter, Line, Path telah menyita waktu pemakai HP. Awal tahun 2000 – an ketika HP masih mengandalkan SMS, telpon, foto dan internet saja. Belum ada aplikasi sosial media. Silaturahmi dan interaksi sosial masih berlangsung hangat. Dialog berlangsung antara orang tua dan anak. Saat di meja makan ya betul betul hanya untuk makan sambil berdiskusi. Proses komunikasi berjalan baik. Dialog diikuti kontak mata, ekspresi tubuh. Komunikasi dengan jiwa.
Memasuki tahun 2010 perkembangan sosial media makin pesat. Berbagai aplikasi memudahkan pengguna Gadget. Mulai dari urusan mempengaruhi calon pemilu pada pemilihan umum, penjualan, promosi, dapat dilakukan dengan cepat dan mudah serta massif.
Menurut Prof Said Irandoust ada 3 miliar orang menggunakan sosial media (40 persen populasi dunia). Setiap orang rata rata menghabiskan waktunya dua jam per hari untuk berbagi, tweet, like. Jumlah informasi digital meningkat 10 kali setiap lima tahun. Penggunaan sosial media (Facebook ) di seluruh negara mampu mempengaruhi jalannya pemilihan negara. Memiliki potensi berbahaya dengan cara menambang informasi pribadi dan memanipulasi data yang tidak sah, mempengaruhi pandangan masyarakat lewat pendekatan secara budaya.
Pengguna sosial media menyebabkan kecanduan. Dari 25.000 orang sampel ditemukan adanya tingkat narsis yang tinggi dan tingkat kepercayaan diri yang rendah. Nah lho.
Dampak negatif lain yang ditimbulkan oleh sosial media adalah menurunya efek komunikasi antar personal. Coba lihat di sekeliling kita, hampir semua warga dunia memainkan HP ketika berada di bandara, restoran, kendaran umum, tempat rekereasi, mall, tempat ibadah, meja makan, menunggu. Menjadi teman di kamar meski berjam jam sendirian di kamar bisa betah dengan gadget.
Kualitas komunikasi antara anak dengan orang tua di meja makan menurun. Saat break di meja makan yang dilakukan adalah melihat layar gadget sambil menyuap makanan. Konsentrasi makan jadi hilang. Mata fokus ke layar dan tangan fokus ke lauk pauk. Saat berjumpa kawan lama sambil ngopi dan ngobrol, namun mata masih tertuju ke layar HP. Padahal dialog atau interaksi yang dibangun tanpa adanya ekspresi tubuh (Smile, open posture, forward leaning, anggukan, tatapan mata) menandakan tidak adanya perhatian. Kualitas dialog menurun.
Kecanduan pada sosial media membuat pengguna jadi kurang berani. Statis. Kurang inovatif. Kecanduan sosial media menyebabkan otak lelah dan berpengaruh terhadap penurunan produktivitas. Banyak yang hilang emphaty, kebahagian dan harapan. Sosial media membuat pengguna jadi egois dan individualis. Tidak peduli terhadap ketidakadilan dan kemanusiaan. Pengguna hanya fokus pada hiburan dan hal populer saja.
Kebiasaan update status setip jam membuat pekerjaan terganggu. Delapan jam per hari waktunya yang seharusnya bisa dimaksimalkan untuk fokus pada pekerjaan jadi tidak maksi. Waktu kerja di kantor banyak yang dipakai untuk aktivitas sosial media. Pekerjaan tertunda.
Sudah saatnya perlu resolusi agar pendidikan sejak dini tidak terperangkap pada sosial media. Jangan sampai sosial media merampok waktu kita. Waktu adalah emas.