Cuaca pagi cerah. Pohon tumbuh kokoh di depan Wisma. Ruang seminar masih sepi. Kursi, mic, speaker, spanduk sudah tertata rapi. Meja resepsionis siap menyambut peserta seminar. Lembaran absensi peserta dan pena di meja sudah lengkap. Sesaat mataku tertuju ke sosok wanita anggun. Rini Widyawati hari ini ia terlihat fresh. Groomingnya keren. Perpaduan blezer hitam dengan celana panjang . Dia selalu terlihat anggun, pujiku membatin. Rambutnya yang rada pendek membuat tampilan Rini makin cantik. Ia selalu jadi pusat perhatian karena penampilannya yang sempurna. Sekilas penampilan Rini terlihat seperti siswi SMA. Tinggi 160 cm, berat 50 kilo gram, body max index 23.
Sahabatku lainnya juga udah pada datang, ada Si Ujang, Si Joko, Si Brewok, Trisa, dan Si Nia. Spontan kuajak mereka mengambil gaya. Kamera Canon E0S 1200D pun kumainkan. Sejumlah pose gokil sudah berpindah ke memori kamera. Usai berfoto Sahabatku yang jadi panitia bergegas ke tempat tugas masing – masing, melakukan persiapan. Si Ujang mengetes mike. Ujang jadi pembawa acara. Nia dan Trisa jadi penerima tamu, Si Brewok bagian menerima tamu. Si Cantik Rini mengambil hand phone merek Samsung dari tasnya.
Rini memilih deretan kursi yang kosong. Ia duduk sembari swafoto. Crek. .. crek…Rini melihat layar hand phone. Ia tak puas. Photo yang sudah di dilihat dihapus.Ia tak suka gayanya. Ia coba mengambil beberapa pose lagi. Aha. Akhirnya Rini berhasil membuat swaphoto yang ia sukai. Sesaat kemudian Rini mengutak atik Hand Phonenya. Ku chek hand phone dari saku celanaku, kulihat status Whats Up Rini. Foto terbaru close up hasil swaphoto mengantikan foto sebelumnya. Aku kasih like. Ia tak merespon. Hanya dilihatnya saja. Mungkin ia lagi malas respon pikirku dalam hati.
Ku pilih berada di luar ruangan. Materi seminar tidak membuatku tertarik. Beberapa isinya sudah sering kubaca di buku- buku seni lukis. Aku melangkah ke ruang peneriaam tamu. Petugas penjaga tamu sudah masuk ke dalam ruangan seminar. Ada satu dua pengunjung yang datang terlambat. Spontan aku bertindak sebagai panitia penerima tamu. Saat tamu memasuki ruangan aku bergegas meraih Hand phone lalu mengecek WA mengharap Rini mau merespon. Jawabnya masih nihil.
Tiba- tiba Rini keluar ruangan. Senangnya hati ini, Sang idola keluar ruangan. Kupikir ia akan spesial menemui aku. Dengan pedenya aku langsung meminta Rini untuk mengambil posisi foto. Ia dengan halus menolak. Ku coba lagi membujuk. Jawabnya tetap penolakan. Ada apa gerangan, pikirku dalam hati. Tidak biasanya ia begitu.
Tidak lama kemudian Si Brewok juga keluar ruangan. Rini menuruni lantai menuju lantai satu gedung seminar. Brewok mengikuti di belakang. Menyusul Rini. Mereka pergi entah kemana. Kini bukan hanya kecewa yang menyerbu jantungku. Ada aliran listrik tegangan tinggi yang menyetrum seketika. Mukaku merah. Jantung berdetak lebih kencang.
Kali ini aku gagal mendapatkan foto cantik Rini. Padahal saya sangat mengharap bisa memperoleh sebanyak mungkin foto terbaik Rini. Sebagai pelukis kesempatan ini sangat langka untuk memperoleh foto terbaik. Harapan untuk mendapatkan foto Art Rini gagal total hari ini. Rasanya sia- sia investasi beli kamera mahal namun obyek foto yang diincar tak memberi respon bagus.
Aku membatin, ternyata kehadiranku justru menganggu Rini. Rini malah nyaman dengan si Brewok. Aku menarik nafas dalam. Penuh kekalahan. Ku berpikir dalam hati, Si Brewok ini paten lah, meski anak baru sudah mampu membuat nyaman Rini dan berhasil menyingkirkan aku. Perjuangan ku mengejar Rini sejak empat tahun lalu menjadi hampa. Sebuah bisikan merendahkan dari batinku berkata, “Dasar lelaki tak punya otak. Kaleng kaleng.”
Aku memasuki ruangan. Mengatur nafas. Menata jantung yang kena accident. Ku pilih duduk di kursi paling belakang. Kutatap si bembicara seminar namun materinya tak satu pun yang nyangkut di otakku. Penolakan Rini masih sangat nyeri menyerang hormon kortisolku. Efek hormon kortisol masih perkasa. Bagai api yang membakar habis isi tubuhku. Tanpa sadar sebuah kertas kosong yang ada di depanku kuisi penuh dengan gambar burung yang sedang terbang bebas. Kertas kedua dan kertas ketiga akhirnya penuh dengan gambar doodle.
Kertas yang penuh gambar itu kuremas. Kulempar ke dalam keranjang sampah. Ada sedikit hormon dopamin yang lepas saat doodle itu kehempaskan ke kotak sampah. Namun hormon kortisol jauh lebih banyak yang lepas.
Setelah kembali menguasai gelombang pikiran alfa, aku bangkit dari kursi, membuka tas kamera. Mengunci focus target foto. Berbagai obyek foto kuambil . Mengharap ada obyek foto lainnya yang memiliki unsur art. Tidak harus Rini yang jadi targetku. Ada beberapa peserta yang memiliki pose art langsung kubidik dengan lensa tele. Paling tidak harapan untuk mendapatkan foto art hari ini masih bisa kuraih. Tak ada pohon akar pun jadi.
Bagiku tak ada istilah menyerah berkarya hanya gara gara penolakan Rini. Dia bukan satu – satunya wanita anggun di dunia ini. Ku berusaha menghibur diri. Aku bukan type lelaki yang gampang tertarik dengan wanita. Namun juga bukan type lelaki yang mau terpuruk karena penolakan. Jari tengah ku acungkan ke atas sambil berguman pelan, “Fuck”.
Hari berganti minggu, sikap pemberontakanku kembali tumbuh liar. Sebagai lelaki yang tidak mudah menyerah ku pilih olahraga sebagai solusi. Membangun otot. Sejak kejadian di ruang seminar itu, kegiatan foto art pun berkurang. Memilih membangun otot adalah solusi efektif melepas energi negatif. Saat berlatih di tempat Gym aku bisa berteriak kencang saat mengangkat barbel sembari membayangkan sebuah pukulan telak mendarat di wajah Brewok keturunan Amrik itu. He he he. Puas.
Bila melukis, secara alami lari ke aliran abstrak. Melukis potret untuk komersial kusingkirkan dulu. Memang betul melukis tanpa adanya mood sangat menyiksa. Namun saat moody melukis abstrak sangat mengasikkkan.
Ada sebuah penelitian saat bencana Tsunami di Aceh beberapa tahun yang lalu. Seorang Doktor Psikolog dari Eropa melakukan terapi terhadap ana- anak korban Tsunami Aceh. Anak – anak tersebut diberikan kertas dan pinsil warna. Anak- anak diminta untuk melukis apa saja di atas media kertas. Saat menggambar mereka terhibur. Aha, kucoba untuk mengaplikasikan buat diri sendiri. Sangat menyenangkan.
Meski tidak melukis aliran super realis, karyaku ternyata diminati sejumlah kolektor langganan Gallery tempatku mencari nafkah. Aha, aku membatin dalam hati ternyata ada hikmah di balik penolakan Rini. Ga ada kata terpuruk. Penolakan kurubah menjadi prestasi. Yess. Tanganku mengepal ke atas. Karyaku laris manis. Uang di rekening bertambah. Aku tersenyum senang.
Sejak awal tahun hingga akhir 2016 pertemuanku dengan Rini hanya dihitung dengan jari. Kebiasanku memanjakan Rini pun sirna. Ga ada lagi coklat yang kuselipkan secara diam – diam di tas kerja Rini. Tak ada kejutan. Taka da lagi ajakan makan di Solaria. Tak ada lagi nongkrong bareng sambal ngopi. Taka ada lagi kutipan puitis yang ku share ke inbox Rini. Tak ada lagi undangan makan siang ke resto pavorit Rini. Tak ada lagi kencan di Biskop kesayangan sambil makan popcorn meski hanya menonton film horor. Rini sudah jadi milik si Brewok.
Ya saya mendengar masukan dari Trisa salah satu sahabatku yang juga dekat dengan Rini. Trisa mengatakan bahwa sudah setahun terakhir, sejak si Brewok Amrik bergabung di perusahaan Rini, sering mengawal Rini kemana pun Rini pergi. Bagai anak dan induk ayam yang susah dipisahkan. Mereka pergi karaoke bareng ke Inul Vista usai jam kerja. Mereka makan bareng di Restorn kesukaan Rini. Brewok selalu mengantar Rini ke Mall. Brewok mengawal Rini potong rambut di salon kesukaan Rini. Brewok dan Rini di hari jumat memilih kencan makan siang di Kafe kesukaan Brewok. Bahkan mereka membuat seragam khusus untuk dipakai di hari Jumat saat makan siang. Sangat romantis lah, ujar Trisa.
“Mereka adalah Romeo dan Juliet abad 21,” kata Trisa.
Trisa mengatakan, “Rini sudah mencampakkanmu Bram. Rini sudah mendapatkan pengganti , brondong muda.” Trisa cekikikan sembari mengejek aku.
“Aku tak percaya Trisa”, kataku.
“Kalau tak percaya ini foto- foto mereka. Saat acara kantor mereka selalu bersama, saat makan di kafe selalu berdua.” Kata Trisa memamerkan foto Rini dan Brewok di HP.
Trisa menunjukan sebuah foto, lalu Trisa menjelaskan, “ Nih lihat, kalau mereka saling suka, analisa secara psikologi jarak dibuktian dengan adanya kedekatan jarak. Teori Psikologi Jarak mereka itu adalah jarak intim. Karena jaraknya kurang 30 centimeter. Dan bukti kedua, mereka sehati nan nyambung bila dianalisa dari pendekatan gaya mereka selalu mirip atau sama. Saat berfoto mulut mereka sama sama terbuka lebar sambal mengangkat dua tangan di samping pipi mereka. Spontan. Ini disebut teknik mirroring. “
“Udalah Barm, lupakan saja Rini. Kamu itu hanya sampah belatung di mata Rini.” Kata Trisa Pedes.
“Biasanya kalau cowok dan cewek keluar masuk hotel bareng pasti sudah melakukan…..” Trisa tidak meneruskan ucapannya.
“Melakukan apa,” Kejarku.
“Kalau nanti Rini sampai hamil, anaknya Brewok itu.” Kata Trisa.
Aku tersentak. Aku tak percaya. “Please Trisa jangan diteruskan.” Sergahku ke Trisa.
Kucoba membantah Trisa. “ Trisa kamu ngawur, “ bantahku.
“Rini itu wanita anggun dan baik,” kataku lagi.
“Rini itu baik pada semua orang. Ia memperlakukan sama semua orang.” Ujarku membela Rini.
Saat kata- kata itu keluar dari bibirku sebetulnya dadaku sudah mau meledak menahan api cemburu. Trisa melihat wajahku yang memerah bagai kena sinar matahari terik jam 12 siang. Ia mungkin kasihan melihat aku, ia pura- pura mengalihkan pandangannya. Sekali lagi aku kena Bom atom. Sudut mata Trisa mencuri perhatian pada ekspresi ku yang aneh. Ia melihat gelombang dadaku naik turun. Aku tiba- tiba susah bernafas. Tanda efek hormon kortisol telah menguasai seluruh sel darahku.
Kubilang sama Trisa, ya salam saja sama Rini kalau ketemu. Ku coba menghindar. Pura pura mau menghadiri pertemuan dengan seorang klien. Padahal sebetulnya aku tak nyaman dengan kondisi ini. Trisa akhirnya pamit. Aku berusaha memberi senyum manis. Namun senyum yang keluar ternyata pahit. Beberapa jam setelah pertemuan dengan Trisa. Semangat sirna. Gairah untuk mengikuti meeting dengan klien kubatalkan.
******
Memilih menjauh, melancong ke beberapa kota. Mencari keindahan alam yang jujur. Mencoba berdamai dengan keindahan pantai, ombak, sungai, gunung, hutan, jurang.
Kecewa dan sedih justru mendorong gairahku untuk bangkit. Tak ada gunanya menyesal, tak ada gunanya memarahi diri sendiri. Hidup ini adalah pilihan kata Steven Covey. Gagal adalah bahan baku untuk bangkit kata Anthony Robbin. Kupilih mengikuti berbagai workshop melukis, pameran melukis dan seminar melukis. Di Jogya, Bandung, Surabaya, Singapura, Hongkong dan Bali.
Menjauhi Rini. Akan membuat batinku tenang. Rini dulu adalah sumber kebahagian karena ia memberikan pemicu aku pelepasan hormon Dopamin. Kini jadi sumber stress karena saat melihat kebahagiaannya dengan Brewok Amrik membuat hormon kortisolku banjir.
Biarlah dia dengan pilhan barunya. Mungkin pilihan Rini menggandeng Brewok akan membuatnya bahagia. Itu pilihan Rini. Diam – diam dalam hati kuberdoa buat Rini, Semoga Rini bahagia. Biar bagaimana aku tak mau menyimpan dendam sama Rini. Menyimpan amarah hanya membuat tingkat stresku bertambah parah.
Meski ia tak sayang aku, kuharap dia selalu Bahagia. Bukankah dulu aku mengatakan ke Rini, kalau Rini tidak boleh menjadi dewasa. Tetap selalu terlihat muda dan lucu. Ku ingin selalu memanjakan, kuingin selalu menjaganya. Kuingin selalu melihat fotonya dengan rambut pendeknya. Ah Rini. Sayang kamu punya pilihan soulmate lain. Kau tega mencampakkanku.
Sebuah buku berwarna kuning karya Charles Duhigg mencuri perhatianku. Sebuah buku yang mengulas tentang proses terjadinya kebiasaan. Seperti kebiasaan buruk. Merokok, judi, kecanduan Game Online, kecanduan belanja di mall, baper terhadap orang yang disayang.
Buku itu begitu menarik. Kucoba membaca dari halaman satu hingga halaman akhir. Kesimpulannya sangat powerfull. Buku ini mengupas secara ilmiah proses terjadinya baper, kecanduan, dan ketergantungan. Ternyata kecanduan disebabkan oleh cara kerja hormon kimia otak. Mudahnya begini. Proses baper atau kecanduan itu diawali oleh adanya trigger atau pemicu. Diikuti langkah kedua berupa aktivitas, lalu langkah ketiga adanya reward dan langkah terakhir repetisi. Bila siklus ini berputar maka terjadilah kecanduan, ngidam atau baper.
Kuamatai cara kerja kecanduan main game mobil legend. Langkah pertama buka aplikasi game di HP, memainkan game adalah langkah kedua. Setelah berhasil memainkan satu tahap mendapat reward berupa like atau love atau point ini adalah tahap ke tiga. Saat mendapat like inilah terjadi pelepasan hormon dopamin dari otak. Timbullah rasa senang . Karena senang makanya kembali meneruskan permainan game on line mobil legend ini adalah langkah ke empat alias repetisi. Maka proses kecanduan terbentuk. Begitu seterusnya.
Pada saat kalah bermain game on line maka keluarlah hormon kortisol atau hormon stress. Senyawa kimia tubuh tidak enak. Hal ini membuat baper. Orang baper (kena efek hormon kortisol) merasa tidak nyaman akhirnya kembali mengejar hormon dopamine dengan cara mengulangi permaian game online demi mendapatkan kembali hormon dopamin. Inilah rangkuman buku proses kecanduan Charles Duhigg.
Kuanalisa, selama ini kenapa saya baper sama Rini. Kenapa susah move on dari Rini. Ternyata Rini memberiku rasa nyaman. Grooming dia sangat baik. Senyum dia selalu ihklas. Selalu aware. Hospitalitinya sangat baik. Nilainya 100. Wajar aku mengaguminya. Wajar kalau aku mengejarnya. Wajar Kalau ia membuatku baper. Inner beauty Ririn sangat kuat.
Charles Duhigg juga memberi tips agar bisa lepas dari penjara baper. Caranya adalah jangan masuk ke trigger atau pemicu. Kalua sudah kena trigger maka otomatis senyawa kimia otak akan merespon hormon bahagia. Contohnya seorang gadis yang pernah sangat menyanyangi cowoknya, kamudian putus. Meski sudah putus berpuluh tahun, saat sang gadis mencium aroma parfum yang pernah dipakai oleh cowok kesayangannya dulu maka memorinya teringat langsung kepada cowoknya dulu. Itulah efek trigger.
Berdasarkan analisa Charles Duhaig kujadikan referensi untuk tidak baper lagi terhadap Rini. Caranya adalah melupakan, menjauh, jangan masuk ke trigger. Simple.
Di tengah kesibukan membuat pesanan lukisan dari kolektor. Teman kerja di Galery melempar fitnah busuk. Mereka kompak menjatuhkan aku. Mereka mengadu ke kolektor aku bahwa teknik melukis yang kupakai adalah teknik print. Teknik yang sangat dilarang dalam dunia seni rupa. Aib besar bagi pelukis yang terbukti memakai teknik itu. Mentalku kembali jatuh. Aku tak melakukan kejahatan itu. Mereka sangat kejam. Teman kerja tak pernah bosan menfitnah aku gara – gara aku suka berpikir kritis.
Bos pemilik Galery pun memanggil aku. Bos sangat kecewa karena kolektor yang selama ini memborong lukisanku complain. Lukisan dari kolektor dikembalikan ke galeri. Uang hasil penjualan lukisan terpaksa di balikkan ke kolektor. Bos ku marah dan kecewa. Ia memecat saya. Bumi seperti runtuh.
******
Di balik kegagalan kedua. Dicampakkan wanita yang sangat kusayangi. Dan dijatuhkan teman teman kerja di Galery. Ada luka batin yang semakin tergores perih.
Dicampakkan oleh Rini bisa kuterima. Lelaki tak boleh cengeng karena di tolak gadis puajaanya. Laki -laki itu seharusnya dikejar wanita bukan mengejar wanita kata konsultan cinta di Mbah Google.
Namun fitnah kejam dan tidak mendasar di Galery lah yang tak kuat kutanggung bebannya. Sayang sang Bos sudah percaya dengan hasutan stafnya. Saya disingkirkan secara perih. Masih banyak pelukis yang jadi mitra Galery. Talent di bidang seni rupa ada ribuan. Tanpa kehadiran saya sebagai mitra , Galery tetap eksis. Saya hanya sebutir pasir yang ditiup angina bagi pemilik Galery nan kaya raya. Kuambil keputusan untuk meninggalkan Kota Batam dan Galery tempatku mengabdi.
Teringat kata motivasi yang sering kubaca di Google, Kegagalan adalah sukses tertunda. Entah siapa yang pertama mempopulerkan istilah ini. Namun kalimat sederhana ini sangat powerfull motivasi diri. Tanganku ku kepal kuat sembari meninju ke udara.
Awal Februari 2017, musim hujan mulai berakhir. Bandara Internasional Hang Nadim terlihat cerah. Sahabatku Ujang yang jago MC mengantar aku dengan mobil pribadinya. Ujang menjemput aku di tempat Kos aku. Sejurus kemudian Toyota Rush putih dikebutnya menuju Bandara. Dari sekian teman perjuangan di Galery hanya dia seorang selalu membela dan mendukungku. Sahabat sejati.
Setelah chek in aku melangkah masuk ke ruang tunggu. Di ruang tunggu kuhempaskan badan yang lelah ke kursi. Ruang tunggu sejuk. AC menghembuskan udara dingin. Ketika punggung kusandarkan ke kursi, terasa dingin menempel di punggung. Ada perasaan nyaman sesaat. Lalu bola mataku mengarah ke kafe. Bangkit dari kursi, melangkah beberapa meter. Pesan Kopi mix. Menikmati segelas kopi Mix Indocafe dan membaca artikel ekonomi di Harian Kompas.
Sejak ganti Presiden 2014 pertumbuhan ekonomi stagnan. Pertumbuhan ekonomi hanya berputar di angka 5 persen. Jalan di tempat. Ada rasa kuatir membaca pertumbuhan ekonomi yang mandek. Artinya kemampuan daya serap tenaga kerja juga bakal sedikit. Saingan aku sebagai korban PHK untuk mendapatan lapangan kerja besar sekali.
Petugas di bandara memanggil seluruh penumpang tujuan Jakarta. Bergegas memasuki kursi nomor 10 A. Sesaat kemudian mataku sudah melihat ujung landasan Hang Nadim. Moncong pesawat Garuda melesat cepat menembus awan. Dam Duriangkan, Perumahan di Tanjung Piayu terlihat jelas dari ketinggian. Berjuta kenangan ikut terbang. Ah Batam penuh kenangan. Kuhanya terdiam melihat pemandangan kota Batam dari udara.
Pesawat Garuda Boing 737-800 sangat nyaman. Di atas ketinggian kucoba membaca majalah yang telah disiapkan di kursi penumpang. Ada sebuah artikel yang mengulas tentang pasir putih di ujung Pulau Maluku. Ah tempat itu begitu menggoda. Foto pantai putih dan hewan air laut sungguh menarik. Aku melakukan affirmasi, semoga ada job yang bisa membawaku ke sana kelak.
DI Jakarta langkah pertama yang kulakukan adalah menemui sahabat pelukis di Pasar Seni Ancol. Alhamdulillah ketemu dengan sahabat lamaku. Ia adalah pelukis otodidak wanita yang sudah sering berpameran nasional dan internasional. Ia nyentrik. Suka pakai sepatu boat. Alirannya adalah Realis. Saat bejumpa di galery, dia menyuguhkan segelas kopi hitam khas anak seni. Mia namanya. Dulu di Batam adalah langganan juara lomba lukis. Sudah lama hijrah ke Ibu kota Jakarta. Kami berpisah hampir sepuluh tahun lamanya. Senang sekali bisa bertemu kembali. Kami ngobrol dari siang hingga jelang magrib.
Mia memberiku katalog lukisan. Banyak Guntingan berita tentang aktifitas pameran yang diikuti Mia. Aku salut sama sosok energik ini.
Setiap Minggu kerjaku membantu Mia di studionya. Di studio ini akhirnya mempertemukan aku dengan salah seorang kolektor yang mencari seorang pelukis tapi juga bisa membuat tulisan. Wah jodoh. Mia mempertemukan aku dengan sang Kolektor. Kolektor dari Singapura namun sudah menganggap Indonesia sebagai tanah airnya. Si Kolektor mempunyai istri kedua orang Jakarta. Punya Galery di beberapa Kota dan memiliki bisnis perhotelan. Si Kolektor menawarkan job. Minta dibuatkan desain lukisan di hotelnya yang akan buka di Batam. Bukan hanya desain tapi juga meminta dibuatkan sebuah buku yang mengulas makna di balik lukisan tersebut. Pas banget dengan passion saya dalam hati. Tanpa banyak pertimbangan. Job itu kusambut dengan gembira. Deal.
Hanya sebulan setelah meninggalkan Batam, dapat proyek penugasan di Batam. Alangkah senangnya. Batam memang jodoh buatku. Lokasi hotel yang akan ku kunjungi berada di daerah Nongsa. Tempat yang memang cukup menarik bagi pertumbuhan industry perhotelan di Batam.
******
Rini terlihat kurang sehat hari itu. Dia tak semangat mengerjakan tugas kantor. Ia hanya memelototi hand phone sejak pagi hingga siang hari. Senyum cerianya juga seolah sudah luntur. Wajahnya terlihat kurang fresh. Agak sedikit kurusan. Apa gerangan yang ada di dalam pikiran Rini. Sarapan yang sudah ia pesan sejak pagi tak habis. Teh manis panas di meja kerjanya juga sudah dingin. Laporan yang harus ia selesaikan masih menumpuk. Beberapa hari lagi dia akan di audit.
Sudah hamper setahun ia tak mengikuti perkembangan Bram. Entah kenapa hari itu ia membuka FB, mencari FB Bram. Rini melihat profil Bram. Melihat foto- foto aktifitas Bram. Mata Rini berhenti pada status terbaru Bram. Rini suprisa. Bram berada di bandara Internasional Sukarno Hatta menuju Batam, bunyi status Bram.
Rini merasa kangen sama Bram. Rini tak bisa melupakan kebaikan- kebaikan Bram. Yang selalu memperingatkan Rini makan siang, yang selalu menghibur Rini saat Rini sedih. Yang selalu memberi kejutan coklat. Yang selalu memberi hadiah ulang tahun. Kenangan bersama Bram ternyata masih kuat dirasakan Rini. Namun Rini bingung dengan sikap Bram. Karena Bram tiba -tiba jadi pertapa seperti Budha yang memilih jalan sunyi dan pelit perhatian. Rini bertanya dalam hati kenapa Bram menjauhiku, Rini membatin.
Siang jelang break. Aku mengupload foto ke FB tentang suasana kerja di Nongsa. Rini memberanikan memberikan like di status FB ku. Aku hanya melihat begitu saja komentnya. Tak ada semangat memberi balasan terhadap like atau komentar yang muncul di status FB ku. Hanya melihat lihat, setelah itu HP kumasukkan ke saku celana. Aku focus melakukan study buat bahan pembuatan desain lukisan dan buku.
Seharian aku melakukan tugas. Mulai dari pemotretan, observasi ruangan, observasi halaman. Wawancara dengan sejumlah tamu hotel dan pengelola hotel. Tugas itu hanya dikerjakan selama sehari. Esoknya, usai sarapan pagi di hotel aku menelpon taxi menuju bandara. Aku harus pagi pagi berada di Bandara Hang Nadim. Pukul 07.00 sudah chek in. Aku kembali membuat status di FB. Pukul 08.00 aku menonaktifkan HP sebagai syarat di atas pesawat terbang . Tak lama kemudian boarding. Pesawat menerbangkan aku kembali ke kota Jakarta.
Rini yang mengikuti status ku sejak kedatangan di Batam hingga terbang kembali ke Jakarta. Rini gelisah. Rini berpikir dalam hati, tidak biasanya Bram begitu. Dulu kalau Bram ke Batam selalu minta tolong dicarikan taxi, minta tolong di orderkan tiket pesawat, rajin memberi kabar. Kenapa kali ini Bram berubah.
Pukul 10.00 waktu Jakarta, aku keluar dari badan pesawat lalu Hand Phone kuatifkan. Ada pesan whats up masuk. Pengirim pesan adalah Rini. Aku membaca sekilas. Aku malas membacanya. Namun ada dorongan dari dalam hati mendesakku membaca pesan Rini.
“Apa salah saya Bram.” Kata Rini.
“Kenapa mendiamkan aku.”
“Kenapa tidak menghubungi aku waktu ke Batam, ” aku Rini
Lalu ku balas , “ Taka da yang salah denganmu Rin.”
“Bohong.” Kata Ririn.
“Mohon Bram, cerita ke aku, apa salah saya.” Lanjut Rini
Rini melanjutkan komentarnya, “Sejak kemarin aku sudah kasih kode di FB mu. Ku kasih like di FB. Tapi tak memberikan respon sama sekali. Tidak biasanya begitu.”
Akhirnya kujawab singkat, “ Ya aku kecewa telah dicampakkan. Kau memilih si brewok.”
“Sejak acara seminar kamu mencampakkan aku.”
“Aku tahu diri, aku tak mau mengganggu kebahagianmu. Kamu punya pilihan. “
“Aku tak bisa memaksamu,” kataku.
Kuceritakan semua informasi yang kuperoleh dari Trisa tentang hubungan Rini dan Brewok.
“Semoga kamu bahagia dengan soulmate barunya,” kataku pada Rini.
“Maafkan aku Bram,” kata Rini. Udah itu sunyi. Ia tak meneruskan kalimat di statusnya.
Kutarik nafas dalam- dalam. Dadaku kembali bergemuruh. Jantungku berdetak kencang.
Keluar dari bandara Soekarno Hatta. Kakiku berat melangkah menuju konter Taxi Blue Bird.
Driver taxi membuka pintu dengan hormat. Aku lempar badanku yang lelah ke kursi . Si biru melesat cepat menembus jalan tol yang mulus.
Kutatap awan di atas langit Cengkareng. Mendung mengelayut di bibir cakrawala. Kucoba menikmati lagu dari Anji berjudul “Dan Ternyata Cinta”. Kuingin cepat sampai ke tempat Kos. Meneruskan proyek pebuatan desain lukisan.
Sekian. MR. JKT, 06/4/2019.