Tulisan Fiksi
Berbekal motor pinjaman, Sumiatun yang awalnya akan berangkat mencari Beno bersama Nenek dibatalkan. Heru mohon agar dirinya saja yang mencari bersama Sumi. Nenek diminta istrahat di rumah. Heru mengambil alih motor. Heru meminta Sumi jadi penunjuk jalan menuju kota Jogyakarta. Heru tak tahu jalan. Navigasi diserahkan ke Sumi yang masih hapal jalan jalan di kota jogyakarta meski sudah hampir tujuh tahun merantau di Batam.
Heru membonceng Sumi. Heru memakai helem warna hitam. Sumi memakai warna Merah. Sumi membaw tas ransel kecil. Berisi Mukena, air mineral, dan makanan ringan. Heru menghidupkan motor. Perlahan meninggalkan halaman rumah Nenek. Motor melintas jalan tanah yang agak basah. Sesaat kemudian motor sudah masuk ke aspal jalan. Heru mengemudikan motor secara hati hati. Kecepatan motor rata rata 40 hingga 50 kilometer per jam. Ia pernah ikut savety driving jadi kesadarannya terhadap keselamatan berkendara cukup baik.
Heru memilih jalan kompas. Jalan yang dipilih menuju kota Jogya adalah jalur jembatan gantung Duwet. Jembatan Duwet tidak bisa dilalui mobil, hanya sepeda motor dan pejalan kaki. Jembatan Duwet banyak digunakan warga Desa Banjarharjo Kalibawang Jogyakarta dan Desa Bligo Kecamatan Ngluar Kabupaten Magelang Jawa Tengah. Lebih cepat dan aman. Jembatan gantung ini dibangun tahun 1930 pada masa penjajahan Belanda. Dulu berfungsi untuk memudahkan pengiriman logistik antara Jawa tengah dan Jogyakarta.
Setelah melewati jembatan gantung Duwet terlihat pengairan dan pemandangan sawah di kiri kanan jalan nan begitu indah. Warna hijau dan kekuningan di persawahan. Aroma bunga padi membuat pernafasan jadi segar. Pemandangan yang tidak Heru temukan di Batam. Heru diam diam kagum dengan indahnya pemandangan sawah di kiri kanan jalan. Ini adalah kepingan surga yang diturunkan Tuhan ke tanah Jogya yang subur, Heru membatin.
Sasaran Heru adalah Kantor Dinas Sosial Kota Jogyakarta di Jalan Kenari Kecamatan Umbulharjo. Heru mengharap mendapat informasi yang bisa memberi petunjuk tentang lokasi anak jalanan di Jogyakarta. Meski tidak banyak jumlah anak jalanan di Kota Jogyakarta, tapi ada saja anak jalanan pendatang dari luar Jogyakarta yang menjadikan tempat keramaian dan pusat wisata Jogyakarta sebagai lahan mencari rejeki.
Sembari membawa kendaraan, pikiran Heru tidak fokus di jalanan raya. Pikiran Heru melayang memikirkan kondisi batin Sumiatun yang berkecamuk dan pekerjaan yang didelegasikan di batam. Meski Heru hati hati menawa kendaraan dengan kecepatan hanya 40 hingga 50 kilometer per jam, ia lupa menyalakan lampu sein saat berbelok. Sebuah mobil yang laju mengerem mendadak. Heru kaget, terlambat mengerem dan terjatuh menimpa mobil yang berada di belakangnya.
Heru dan Sumi bangkit dari aspal. Memperbaiki posisi motor, lalu menuntun motor ke pinggir jalan. Tak ada luka. Hanya ada baret di motor. Mobil yang diserempet Heru juga kena goresan atau baret. Heru jadi tak enak karena menyebabkan mobil orang kena gores. Supir mobil keluar dari mobil, menghampiri Heru sembari marah dan menunjuk muka Heru.
“Anda tidak punya mata ya. Bawa motor seenaknya saja. “ Kata supir mobil berwarna merah.
“Bro kalau bawa kendaraan yang benar dong. Gara gara tidak menghidupkan lampu sein saat belok kanan membuat kami tak bisa menghindar. Nih akibatnya mobil kami kena baret.” Lelaki tinggi besar itu menunjuk ke arah mobilnya.
“Maaf Mas kami tak sengaja.” Kata Heru gugup. Heru melepas masker agar bisa berkomunikasi dengan mudah.
“Wah minta maaf sih gampang, tapi siapa yang akan memperbaiki baret mobil ini.” Kata Lelaki tinggi tersebut.
Heru mengambil kartu namanya dan meminta Lelaki tersebut menghubunginya. Heru buru buru mau melanjutlkan perjalanan ke kantor Dinas Sosial Kota Jogyakarta
Lelaki Tinggi tersebut tak mau terima, ia meminta uang ganti rugi ke Heru. “Saya tak butuh kartu ini, saya butuh pertanggungjawaban. Kalau kartu bisa saja nanti kabur dan tak mau bertanggungjawab.”
“Anda, kalau bawa kendaraan harusnya hati hati Bro. “ Kata lelaki itu dengan nada tinggi.
Heru tak mau memperpanjang urusan , ia tahu harga perbaikan kalau kena baret. Heru menarik tiga lembar uang merah pecahan seratus ribu dari dompetnya. Lelaki itu berhenti marah dan langsung memasukkan tiga lembar uang seratus ribu itu ke kantongnya.
Nah begini kan enak. Saya bisa membawa ke bengkel dan menutup baret ini agar bos saya tidak marah. Lelaki tinggi itu senang karena uang yang diberikan Heru sudah lebih dari cukup.
Wajah lelaki tersebut berubah seketika, yang tadinya sangar jadi ramah. Lelaki itu lalu mempersilahkan Heru melanjutkan perjalanan.
Lelaki itu berkata, “Hati hati di jalan. Maaf tadi kalau saya kasar.”
Heru kembali memakai maskernya. Ia merasa shok karena menyebabkan kecelakaaan lalu lintas. Beruntung tidak ada Polisi yang datang saat kejadian. Heru tidak punya SIM Motor. Heru hanya punya SIM A.
****
Heru dan Sumi memarkir motor. Melangkah ke ruang resepsionis Kantor Dinas Sosial Jogyakarta. Petugas di ruang resepsionis mengarahkan Heru dan Sumi ke bagian Rehabilitasi Sosial. Tak banyak pengunjung. Heru dan Sumi bisa langsung diterima oleh petugas bagian Rehabilitasi Dinas Sosial Kota Jogyakarta. Heru meminta informasi, petunjuk dan saran ke petugas sosial tentang keberadaan tempat tempat anak punk, anak pengamen dan pengemis berkumpul. Petugas Sosial mengatakan bahwa keberadaan anak jalanan sudah berkurang karena sering dilakukan penataan dan pembinaan. Anak jalanan yang mengemis dan mengamen yang kena tangkap di bawa ke panti. Diberikan pembinaa, pelatihan dan setelah mandiri akan di kembalikan ke masyarakat.
Meski begitu ada saja kasus kasus baru muncul meski tidak banyak. Petugas Rehabilitasi mengatakan ke Heru dan Sumi penyebab munculnya anak jalanan, pengemis dan pekerja seks komersial di bawah umur. Para korban terjebak jaringan traffiking. Mereka terpaksa hidup dijalanan karena banyak faktor. Petugas tersebut menguraikan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi adanya perdagangan perempuan dan anak adalah :
a. Kesulitan ekonomi atau kemiskinan.
b. Keluarga tidak harmonis;
c. Menikah atau cerai pada usia dini;
d. Korban pelecehan seksual pada usia dini;
e. Korban perkosaan
f. Terbatas kesempatan kerja;
g. Terpengaruh oleh anak lain yang sukses
Sumiatun menunduk saat mendengar pembahasan keluarga yang tidak harmonis sebagai penyebab terjadinyan anak jalanan. Sumi merasa sangat bersalah dengan keputusannya beberapa tahun lalu saat mengusir Heru suaminya dan yang terb maru memohon Beno mengaku sebagai bukan anak kandung di depan Heru. Sumi sangat menyesal. Sumi lalu mengangkat wajahnya dan memandang ke wajah Heru.
Sumi berkata , “Maafkan aku ya Bang. Ini semua gara gara saya. “
Heru yang paham kiondisi Sumi coba untuk beremphaty. “ Ya sudah lupakan. Toh saya tak mempermasalahkan lagi. Saya ihklas dengan kondisimu saat ini. Ayo lah move on. Lebih bagus energi kita konsentrasikan untuk mencari Beno.”
Sumi menyerahkan Foto Beno ke petugas rehabilitasi Dinas Sosial Jogyakarta. Mengharap ada petugas Dinas Sosial menemukan anak itu saat ada rasia gelandangan, pengemis dan anak terlantar. Sumi memohon petugas sosial menghubunginya. Sumi memberikan nomor kontak yang bisa dihubungi ke pegawai Dinas Sosial.
Banyak kasus yang Dinas Sosial tangani . Umunya anak terlantar, pengemis, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) , ketergantungan obat, Orang Dengan Gangguan Jiwa ( ODGJ) , Traffiking atau perdagangan anak dan wanita. Upaya yang cukup melelahkan adalah memberantas traffiking. Upaya pemberantasan Traffiking ini rada sulit, karena banyak kasus terjadi justru pelakunya adalah anggota keluarga sendiri. Kalau pun ada yang menemukan kasus Traffiking takut melapor ke pihak berwajib. Kasus traffiking jadi laten. Kesannya tidak ada tapi praktekkan tetap jalan.
Bentuk Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) atau Traffiking atau perdagangan perempuan dan anak yang terjadi , ada beberapa model. Yang pertama adalah adopsi atau pengangkatan anak dengan prosedur atau jual beli anak kepada warga sendiri dan warga negara asing. Model kedua bisa berupa kawin kontrak. Dimana para wanita tersebut dipesan dari daerah daerah tertentu untuk dijadikan istri kontrak. Model ketiga melibatkan anak anak dalam perdagangan obat obat terlarang. Ada juga perdagangan anak dengan cara mempekerjakan anak di bawah umur di Jermal dan perkebunan. Kasus lainnya adalah eksploitasi pedophilia seksual, pornografi perempuan dan anak. Mempekerjakan anak dan wanita untuk mengemis dan meminta minta. Mempekerjakan anak dan perempuan secara paksa. Dan ada juga yang memperkerjakan anak dan perempuan untuk prostitusi.
*****
Dinas sosial berupaya secara maksimal melakukan pemberdayaan. Yang jadi masalah anak anak yang keluar dari panti sosial setelah diberikan pelatihan hard skill kembali ke Jalanan. Mereka tidak menemukan emphaty di rumah. Banyak keluarga yang tidak pandai beremphaty sehingga anggota keluarga yang batinnya luka akan kembali kabur ke jalanan. Mereka kembali ke jalan dan beberapa dari Mereka terjebak oknum yang melakukan praktek traffiking secara halus. Ada oknum yang berkedok Yayasan. Ada oknum aparat yang bekerja sama dengan jaringan traffiking. Para oknum yang terlibat jaringan inilah yang paling susah dikendalikan. Banyak cara mereka untuk melakukan praktek traffiking. Di balik praktek traffiking para oknum bisa mendulang rupiah dengan mudah.
Tindak Pidana Perdagangan Orang atau pelaku Traffiking acap kali melibatkan jaringan yang sangat luas, mulai dari anggota keluarga, oknum aparat, oknum imigrasi sampai jaringan mafia internasional. Sayang tidak sedikit pula keluarga yang justru menganggap jaringan perdagangan orang sebagai pahlawan karena memberi pekerjaan kepada korban, padahal dari sisi korban sering mengalami eksploitasi sangat parah sehingga menggaggu tumbuh kembangnya sebagai manusia.
Anak anak putus sekolah dan anak anak yang kabur dari rumah ditampung di tempat mereka. Oknum yang berada di jaringan traffiking punya banyak informasi. Mereka mampu membayar oknum aparat agar tutup mulut. Kadang kadang oknum aparat tidak proaktif kala ada pelanggaran traffiking. Jaringan pelaku traffiking dalam menjalankan bisnis kotornya hanya kamuflase di depan hukum. Oknum tersebut hanya menyediakan infrastruktur seadanya dalam kegiatan pemberdayaan anak. Untuk menjerat anak anak dan wanita, oknum hanya menyediakan tempat untuk berteduh, tempat untuk tidur, mandi, makan, minum dan pakaian. Secara tidak langsung anak anak dan wanita yang di tampung terikat dalam sebuah sistem jaringan traffiking.
Anak anak tersebut dikoordinir. Ada pengawas yang selalu mengamati dan mengawasi gerak gerik ketika anak asuh di sebar di jalanan untuk mengemis dan mengamen. Begitu juga wanita muda yang dijadikan pekerja seks komersial selalau mendapat pengawasan 24 jam. Para pengawas punya sistem komunikasi yang rapi. Saat para wanita muda yang dijadikan pekerja seks komersial saat mendapat pelanggan lelaki hidung belang, mereka dikawal ketat keluar dari penginapan kemudian akan dikawal balik setelah kencan dengan para lelaki hidung belang. Para wanita muda yang kebobolan dan hamil dipaksa untuk menggugurkan kandungan. Para wanita muda tersebut juga dipaksa untuk minum pil anti hamil.
Hasil jerih payah anak jalanan baik pengemis, pengamen hingga wanita muda yang dipaksa jadi pekerja sosial komersial akan disetor 75 persen ke oknum pengawas atau pengelola. Miris. Ketika para korban melakukan perlawanan, tak segan segan pengawas melakukan siksaan secara fisik. Kalau sudah masuk ke jaringan traffiking susah untuk lepas. Para wanita muda korban traffiking tersebut baru dibuang saat nilai juanya dianggap menurun. Kadang juga para wanita muda tersebut di lepas karena sering sakit sakitan.
Tak jarang para wanita muda melakukan upaya bunuh diri karena tak tahan dengan beban mental yang menghinggapinya. Jaringan traffiking tak pernah kehabisan stok. Kadang kadang wanita muda korban kekerasan rumah tangga dan korban perkosaan sengaja bergabung ke jaringan traffiking karena ingin melarikan diri lingkungan rumah yang dianggap seperti neraka. Mereka tidak mendapat kasih sayang dan kedamaian dari keluarga, makanya mereka memilih menjerumuskan diri menjadi wanita pekerja seks komersial.
Pengawasan terhadap anak anak kecil yang di pekerjakan sebagai pengemis dan pengamen tidak terlalu ketat. Anak anak yang masih balita tak punya kekuatan. Mereka biasanya di buang orang tuanya karena sang anak lahir dari orang tua yang tidak bertanggungjawab. Anak hasil hubungan gelap dijadikan sebagai property untuk menimbulkan simpaty para pengguna jalan. Anak anak yang menggendong balita seolah olah sebagai pengganti orang tua adalah akal akalan jaringan traffiking. Mereka punya pengawas yang menjaga dan memonitor kerja anak anak tersebut dari kejauhan. Tak ada anak anak yang berani kabur. Bila ada anak yang kabur akan di kejar dan diberi hukuman. Anak anak yang sudah terjebak susah untuk keluar. Kecuali membayar uang tebusan untuk mengganti makan minum dan biaya penginapan.
Selaian balita, usia anak anak yang dieksploitasi rata rata berumur 5 hingga 11 tahun. Anak anak tersebut di beri tempat tinggal, pakaian dan makanan . Tugas anak anak tersebut wajib meminta minta di jalanan dan mengamen. Para pengawas selalu berada tak jauh dari anak anak jalanan. Saat ada patroli dari Polisi Pamong Praja dan Dinas Sosial anak asuh tersebut langsung diamankan. Upaya Polisi Pamong Praja dan Dinas Sosial selalu kalah cepat. Karena ada oknum yang tidak bertanggungjawab, upaya pemberantasan anak jalanan, pengemis dan prostitusi anak sering gagal. Rencana penangkapan anak jalanan dan Pekerja seks komersial sering bocor ke oknum aparat yang bekerja sama dengan jaringan Traffiking.
Para pengawas di jaringan traffiking bagai belut. Licin dan sulit di tangkap. Mereka leluasa bertugas untuk memastikan anak anak jalanan bekerja dan mengumpukkan uang sebanyak mungkin. Uang tersebut lalu disetor ke pimpinan. Kadang anak yang kurang setoran mendapat kekerasan fisik dari pengawas. Kekerasan fisik ini membuat anak anak jadi trauma dan tak berani melawan.
Anak anak jalanan tak bisa berbuat banyak. Ia takut karena nyawanya terancam jika melawan. Ia harus disiplin turun ke jalanan untuk meminta minta. Ada yang mencoba kabur namun berhasil di tangkap oleh pengawas . Anak tersebut boleh pergi asal menyetor uang tebusan sebagai ganti uang makan dan uang tempat bernaung.
Anak anak jalanan tersebut tak bisa menghindar. Kabur akan diminta ganti rugi atau hukuman fisik. Mau balik ke rumah merasa tak nyaman berada di rumah karena kecewa dengan pola asuh orang tuanya. Bertahan di Panti sosial juga tidak bisa lama lama karena daya tampung terbatas. Dinas sosial punya keterbatasan.
Sumi sedih dengan keberadaan anak jalanan yang tinggal dan besar di jalanan tanpa kasih sayang orang tua. Sumi menyesal karena membuat Beno kabur dari rumah. Sumi takut Beno berada pada cengkraman mafia traffiking. Sumi mengharap Beno baik baik saja.
*****
Heru dan Sumi meninggalkan Kantor Dinas Sosial melanjutkan pencarian ke Malioboro. Sumi bertanya kepada setiap pengamen, pengemis dan kelompok seni jalanan yang di temui. Sumi akhirnya mendapat sedikit harapan ketika ada salah satu anggota kelompok seni jalanan yang mengenali ciri ciri seperti ciri ciri Beno. Pengamen bertato dan bertindik di hidung menjelaskan ke Sumi bahwa ia pernah melihat ciri ciri seperti di foto Beno yang ditunjukkan Sumi.
Pengamen tersebut mengatakan tak berani mengantar ke lokasi penampungan anak anak pengamen dan pengemis tersebut. Pengamen tersebut takut dengan kaki tangan jaringan traffiking yang kejam. Pengamen itu menyampaiakan ke Sumi bahwa cara termudah mengeluarkan anak anak yang dikuasai jaringan traffiking adalah menebus dengan uang sebanyak 5 hingga 10 juta rupiah.
Sumi tersentak. Tak menyangka kalau Beno dikendalikan jaringan traffiking atau Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
“Mas tolong lah saya. Bagaimana caranya saya bisa mengeluarkan anak saya .” Sumi memohon.
“Saya takut membocorkan Mbak. Kalau ketahuan saya bisa dibunuh kelompok mereka.” Kata Si Pengamen bertato itu berbohong.
“Saya akan bayar asalkan memberitahukan letak penampungan mereka,” kata Sumi.
SI pengamen bertato mau memberikan informasi penting asal dibayar satu juta rupiah. Si Pengamen tersebut memberikan catatan berisi alamat rumah penampungan anak anak korban traffiking. Sumi memberi uang sebanyak 500 ribu rupiah sebagai DP dan akan di tambah lagi 500 ribu rupiah kalau anak yang dimaksud benar benar Beno. Uang tersebut langsung di kantongi si Pengamen. Si Pengamen bertato memandu Sumi dan Heru ke lokasi ruko yang tampak sepi dan terkesan normal bila dilihat dari luar rumah penampungan. Tempatnya di Giwangan di sisi Barat Stasiun Tugu.
Sampai di lokasi si Pengamen bertato menemui pendamping anak anak jalanan. Si Pengamen bertato lalu menghampiri pengawas rumah penampungan. Setelah berbisik ke pengawas si pengamen bertato tersebut pamit setelah mempertemukan Sumi dan Heru dengan si pengawas rumah penampungan.
Tak lama kemudian datanglah seorang bocah yang warna baju dan ukuran tubuhnya persis seperti Beno. Bocah itu memiliki cici ciri yang pas seperti Sumi ceritakan ke Pengamen bertato tadi. Tinggi dan berat sama dengan Beno. Baju yang dikenakan juga jersey olahraga sepak bola Real Madrid berwarna putih. Bocah tersebut dipanggil oleh sang pengawas rumah penampungan. Sesaat kemudian bocah tersebut keluar dari kamar. Bocah itu berjalan tanpa ekspresi menemui Sumi. Tangan kanan bocah tersebut memegang ukulele. Bocah tersebut menghampiri Sumi dan Heru.
Saat bocah itu keluar dari kamar penampungan, dari jauh nampak persis seperti ciri ciri Beno. Sumi senang dan memanggil bocah itu segera mendekat. Namun setelah dekat. Sumi baru sadar kalau bocah yang ditunjukkan bukanlah Beno. Bocah yang menemui Sumi tidak memiliki tanda lahir tahi lalat di bawah mata kanan. Beno punya tanda lahir tersebut.
“Tante mencari saya, ada yang bisa di bantu .” Kata bocah tersebut.
Saya mencari anak saya. Namanya Beno katanya berada di lokasi penampungan ini. Ya sekilas penampilannya mirip kamu Nak. Nama anak saya Beno dan ada tahi lalat sebagai tanda lahir dia.
“Wah itu bukan saya berarti, Nama saya bukan Beno. Nama saya adalah Paijo. “ Kata Bocah itu datar.
“ Saya tak kenal sampean.” Bocah pengamen itu kembali masuk ke ruang penampungan bersama teman temannya. Sumi dan Heru kecewa dan sedih. Usahanya belum membuahkan hasil. Sumi dan Heru nampak kelelahan setelah berjalan seharian mencari Beno. Kemanahah Beno berada? Sumi sedih. Ia tak sabar ingin segera berjumpa Beno.
****
Sumi dan Heru meninggalkan rumah penampungan. Menuju ke parkiran mengambil motor. Sumi melanjutkan pencarian. Tapi badannya mulai lelah. Sejak siang belum diisi makanan. Energinya melorot. Sumi dan Heru sepakat untuk beristrahat. Mereka memilih angkringan yang menyediakan aneka makanan. Sumi memesan nasi kucing, sate usus , sate telur puyuh dan gorengan serta Teh manis. Heru juga memesan menu makanan yang sama seperti pilihan Sumi. Mereka nampak lahap menikmati penganan khas Jogyakarta tersebut.
Meski pemerintah sudah melakukan sosialiasi agar menjaga 3 M (Menggunakan masker, menjaga jarak dan mencuci tangan) , namun ada saja pengunjung yang lalai. Tidak memakai masker. Heru hanya bisa protes dalam hati atas tindakan kurang disiplin para pengunjung angkringan. Heru sadar harus extra hati hati menjaga diri dari penularan covit 19, karena Heru punya riwayat penyakit asma.
Pengunjung yang berada di samping Heru posisi duduknya dekat sekali dari posisi Heru, saat menunggu makanan pengunjung itu tidak menggunakan masker. Heru ingin pindah tempat duduk namun tak ada lagi ruang kosong. Heru nekat duduk di dekat pengunjung yang tak pakai asker tersebut. Semoga tidak terjadi hal yang tak diinginkan, Heru membatin. Heru buru buru menghabiskan makanan dan mengajak Sumi untuk segera meninggalkan angkrinan tersebut.
Usai makan Heru membayar ke kasir. Tenaga Sumi dan Heru berangsur kembali pulih. Mereka menuju Jalan Malioboro. Sumi dan Heru berjalan dari ujung ke ujung jalan Malioboro. Perhatian Sumi dan Heru hanya fokus ke sudut sudut Toko mengharap bisa menemukan Heru. Aneka produk pakaian, tas, assesori yang ditawarkan para pedagang kaki lima Malioboro tidak menarik minat Sumi. Pikiran Sumi hanya Beno.
Menjelang Magrib Heru dan Sumi memutuskan mengakhiri pencarian. Akan dilanjutkan esok hari. Saat menuju parkiran, dari kejauhan ada group musik angklung yang memainkan musik berjudul Di Sayidan karya Aloysius Oddisey Sanco. Lagu itu dirilis tahun 2003. Lagunya mudah dinyanyikan. Lagu itu akrab di telinga Sumi. Waktu duduk di bangku SMA Sumi suka menyanyikannya.
Di Sayidan
Oh, coba kawan kau dengar, ku punya cerita
Tempat biasa aku berbagi rasa
Suka duka tinggal bersama
Di gang gelap, di balik ramainya Jogya
Mari sini berkumpul , kawan, wo-woo
Dansa, dansa sambil tertawa, ha-ha-ha, hey
Oh, coba kawan kau dengar, ku punya cerita
Tempat biasa aku berbagi rasa
Suka duka tinggi bersama
Di gang gelap, di balik ramainya Jogya
Mari sini berkumpul, kawan, wo-woo
Dansa, dansa sambil tertawa, he-he
Bila kau datang dari selatan
Langsung saja menuju Gondomanan
Belok kanan sebelum perempatan
Teman-teman riang menunggu di Sayidan
Di Sayidan, di jalanan
Angkat sekali lagi gelasmu, kawan
Di Sayidan, di jalanan
Tuangkan air kedamaian, hey
Hey, hey
Hey, hey
Dan jangan kau takut pada gelap malam
Bulan dan bintang semuanya teman
Tembok tua, tikus-tikus…
BERSAMBUNG.