Pagi ini entah kenapa saya dituntun oleh otak saya untuk menulis tentang keyakinan. Jam di tangan kiri saya menunjukkan pukul 09.55. Wah masih enak untuk menulis pikirku. Sebelumnya urusan domestik udah kelar. Sebagai warga Bulok (Bujang lokal) hari Minggu adalah hari yang menyenangkan untuk jalan jalan ke pasar pagi.
Di pasar berjumpa dengan tukang parkir. Kadang bikin kesal karena menuntut uang karcis. Entah disetor ke pemerintah atau tidak. Ada perasaan tak nyaman ketika berjumpa dengan tukang parkir di pasar. Bermodal baju seragam parkir. Baju seragam mereka tidak ada yang terkancing rapi. Sah sebagai petugas. Punya hak menarik uang parkir senilai 1000 rupiah per motor.
Di tangan kiri mereka ada puluhan uang seribuan yang sudah lusuh. Sumpritan memekakkan telinga saat memberi perintah. Ah menyebalkan, pikirku dalam hati.
Ingin rasanya kutabrak saat melintas di depannya.
Para tukang parkir tak kenal panas. Tangguh. Bersemangat menarik uang parkir
Bejalan di bawah terika matahari yang menyengat. Tukang parkir penuh keringat. Tukang parkir tidak memakai topi. Aduh kasin juga pikir saya akhirnya. Padahal dia bertanggung jawab mengatur kendaraan di area parkir sepanjang hari. Bahkan ketika saya mengamati ujung kaki sang juru parkir memakai sandal jepit. Seandainya terlindas roda kendaraan bisa kena kecelakaan kerja. Hmm, pikiran saya melambung juah hingga pelayanan BPJS.
Meski berpenampilan kurang dalam good looking namun di sisi lain para tukang parkir memiliki kelebihan. Grooming mereka ciamik. What! jangan heran dulu, meski penampilan di bawah standar, mereka memiliki sikap positif, behavioral yang positif, mind set yang positif, kalimat yang didasari magic word.
Di situ saya sadar. Para tukang parkir ternyata ramah meski muka seperti wajah tukang begal.
Saya yang tadinya kesal berubah jadi kasihan. Hanya karena berpikir negatif jangan jangan uang parkir tersebut tidak dipertanggungjawabkan. Pikiran jelek itu akhirnya saya buang.
Para tukang parkir adalah orang yang baik. Jauh lebih baik dibanding oknum eksekutif dan legislatih yang mencuri uang rakyat. Yang kerjanya hanya duduk duduk beberapa jam di kantor yang sejuk dan bersih dan ditemani para sekretaris cantik namun punya penghasilan puluhan juta rupiah sebulan. Yang hanya pandai beretorika namun tidak ada wujud dan nilai tambah.
Para tukang parkir justru menjadi bagian solusi ketenagakerjaan. Batam susah cari kerja Bung! begitu keluhan para pencari kerja pria. Karena minim kompetensi dan tidak memiliki akreditasi, Hanya mengandalkan ijasah kertas. Ribuan pencari kerja berserakan di jalan. Putus asa karena tidak memiliki pekerjaan tetap. Putus asa karena tidak memiliki penghasilan. Putus asa karena tidak memiliki gairah. Putus asa karena tidak memiliki kebanggaan.
Tukang parkir adalah solusi. Meski di pasar tradisional. menjadi tukang parkir adalah salah satu cara mengurai benang kusut masalah ketenagakerjaan di Batam.
Dari kisah tukang parkir di pasar dan pencari kerja di Community Center Muka Kuning. Ada dua sikap yang menjadi perhatian saya. Pertama tukang parkir, meski terlihat tidak bergengsi dan berpenampilan menarik namun punya harga diri. Memiliki penghasilan dari usaha parkir.
Yang kedua pencari kerja yang hanya mengeluh di sosial media karena menganggur. Menyalahkan peraturan, menyalahkan MEA, menyalahkan pengelola kawasan industri. Hanya jadi korban.
Apa yang membedakan keduanya. Jawabnya adalah keyakinan.
Sang juru parkir memiliki keyakinan bahwa bekerja tidak harus di tempat sejuk dan berpakaian necis. Bekerja adalah menolong. Bekerja adalah memberi solusi. Bekerja itu melayani. Membantu para ibu ibu di pasar mengamankan kendaraan dan mengatur parkir dengan mudah sehingga ibu ibu yang belanja tidak kesulitan saat mengeluarkan motor dari rapatnya kendaraan roda dua.
Pencari kerja yang menganggur dan tetap bertahan dengan cara cara dan keyakinan lama. Mencari pekerjaan bermodal ijasah. Tetap bertahan dengan keyakinan ini. Akhirnya kehabisan modal. Akhirnya memeilih pulang kampung. Bercerita ke sanak keluarga bahwa Batam tidak lagi menjadi surga kerja.
Kini jaman kompetensi. Ijasah segunung pun tanpa adanya kompetensi makin tidak laku dalam proses rekrutmen. Keyakinan harus dirubah. Cara cara lama mesti dibenahi.
Jangan terkebak dengan gelar akademis. Itu bukan jaminan. Sekarang jamannya manusia pembelajar. Belajar di kehidupan. Seperti para tukang parkir di dekat komplek perumahan saya.